Selasa, 30 Maret 2010

pengkajian perikarditis

contoh kasus

Tuan Benny 25 tahun dibawa ke poliklinik penyakit dalam dengan keluhan merasa lemas, berdebar-debar, sesak nafas dan nyeri dada.Menurut klien sebelumnya sekitar 2 minggu ini ia mengalami batuk dan pilek disertai demam.Pada pemeriksaan fisik didapatkan HR 132 x/menit, pulse teraba kecil, RR 30 x/menit, suhu 38o C, TD 100/60 mmHg.Dari pemeriksaan darah didapatkan leukosit 22000 didominasi oleh limfosit, LED 24/35, CK dan LDH meningkat, ASTO 200 todd unit.Hasil pemeriksaan EKG ditemukan adanya amplitudo gelombang T yang rendah.Dari thorax photo didapatkan adanya cardiomegali disertai kongesti paru.Selanjutnya klien mendapat terapi medis berupa antibody antilimfosit dan obat stimulan interferon.

Pengkajian pada klien tersebut
Biografi Klien
Klien bernama Tuan Benny yang berusia 25 tahun.
Keluhan utama :
- Merasa lemas, berdebar-debar, sesak nafas dan nyeri dada
- Sekitar 2 minggu ini ia mengalami batuk dan pilek disertai demam.
Riwayat Kesehatan

Saat ini
- Merasa lemas, berdebar-debar, sesak nafas dan nyeri dada
- Sekitar 2 minggu ini ia mengalami batuk dan pilek disertai demam
- HR 132 x/menit
- Pulse teraba kecil
- RR 30 x/menit
- Suhu 38o C
- TD 100/60 mmHg.
- Pemeriksaan darah :
• Leukosit 22000 didominasi oleh limfosit
• LED 24/35
• CK dan LDH meningkat
• ASTO 200 todd unit.
- Hasil EKG : Amplitudo gelombang T yang rendah.
- Thorax photo: Adanya cardiomegali disertai kongesti paru.
- Terapi yang diberikan: Antibody antilimfosit dan obat stimulant interferon.

Masa lalu : tidak teridentifikasi
Keluarga : tidak teridentifikasi

Pemeriksaan Fisik

Tanda Vital:
- HR 132 x/menit
- Pulse teraba kecil
- RR 30 x/menit
- Suhu 38o C
- TD 100/60 mmHg
Inspeksi : (-)

Palpasi
- Pulse teraba kecil

Auskultasi : (-)

Pemeriksaan Penunjang (Tes Diagnostik)
- Radiografi dada
- Elektrokardiografi
- Pemantauan Holter
- Uji latihan treadmill


Psikososial
 Konsep Diri
Klien merupakan seorang kepala keluarga. Hubungan klien dengan keluarga dan orang lain baik.
 Mood
Klien merasa cemas akan keadaan dirnya yang didiagnosa menderita penyakit jantung, hal ini disebabkan klien baru pertama kali mengalami serangan jantung
 Afek
Klien memiliki emosi yang stabil dan bila menghadapi masalah, klien membicarakannya dengan istri dan anak-anaknya.

Sosiokultural
 Sumber Daya Keluarga
Dalam kasus ini, sumber daya keluarga tidak teridentifikasi. Namun, dalam hal ini keluarga diharapkan turut berperan serta untuk mengingatkan pasien agar berhenti merokok.
 Sistem Nilai dan Budaya
Dalam kasus ini, klien diharapkan dapat menjaga emosinya agar tetap stabil dan dapat menjaga nilai-nilai, budaya atau kebiasaan klien dalam menghadapi masalah dengan selalu membicarakannya dengan istri dan anak-anaknya demi membina hubungan yang baik dengan keluarga maupun orang lain.

Spiritual
 Keyakinan
Dalam kasus ini, klien memiliki keyakinan bahwa sakitnya merupakan cobaan dari Allah swt.
 Motivasi
Dalam kasus ini, diharapkan adanya motivasi yang berawal dari hubungan yang baik dengan keluarga dan orang-orang disekitarnya dapat memberikan dukungan kepada klien untuk sembuh.
 Religius practices
Dalam kasus ini, klien beragama Islam dan taat menjalankan sholat lima waktu.


Data manakah dari hasil pemeriksaan yang menurut saudara tidak normal dan jelaskan maknanya !


HR
HR adalah frekuensi jantung untuk memompa darah setiap menit.Nilai normal HR pada usia 25 tahun adalah 60-100 x/menit
Pada kasus diatas HR Klien 132 x/menit. Itu artinya klien mengalami Takikardi, atau tergolong kedalam Takikardi Sinus (denyut jantung cepat) dengan frekuensinya dalam rentang 100-180 x/menit yang dapat disebabkan oleh demam, kehilangan darah akut, anemia, syok, latihan, gagal jantung kongestif, nyeri, keadaan hipermetabolisme, kecemasan, simpatometika/pengobatan parasimpatolitik.


RR
Pada kasus diatas RR klien 30 x/menit. (normalnya 12-20 x/menit)
Makna dari meningkatnya RR adalah klien mengalami sesak nafas (dyspnea) yang disebabkan karena adanya cairan/eksudat yang memenuhi rongga perikardium

Suhu
Pada kasus, suhu klien 38o C yang melebihi batas normal yaitu 36,8-37o C dan dapat dikatakan demam yaitu reaksi peradangan lokal atau reaksi fase akut yang diperantarai oleh sitokin yang dihasilkan oleh leukosit yang berperan dalam reaksi peradangan, dan dihasilkan oleh kerja sitokin pada pusat pengatur suhu di hipotalamus.

TD
Dalam kasus, TD klien 100/60 mmHg yang berarti klien Hipotensi yaitu penurunan tekanan darah atau dibawah rentang normal, yang nilai normalnya 120/80 mmHg.

Leukosit
Leukosit adalah salah satu komponen dalam darah yang berfungsi untuk pertahanan tubuh.
Pada kasus diatas, Leukosit klien 22000/mm3 atau mengalami Leukositosis yaitu peningkatan jumlah Leukosit didalam sirkulasi darah, diakibatkan dari stimulasi maturasi leukosit yang diperantarai sitokin dan pelepasan dari sumsum tulang. Dimana leukositosis ini disebabkan karena adanya peningkatan salah satu jenis leukosit, yaitu limfosit, eosinofilia, dab basofilia. Dalam kasus ini dominan kelebihan limfosit.

LED
LED (Laju Endap Darah) adalah salah satu pemeriksaan rutin untuk darah. Tes ini didasarkan pada fakta bahwa proses peradangan akan menyebabkan perubahan pada protein darah yang selanjutnya menyebabkan agregasi sel darah merah sehingga membuat lebih berat dan lebih cepat mengendap.
Pada kasus diatas, LED Tn.Benny 24/35 mm/jam, itu menandakan LED nya tidak normal, karena nilai normal pria adalah 0-15 mm/jam.

CK
CK (Creatinin Kinase) yaitu enzim yang spesifik yang dianalisa untuk mendiagnosa infark jantung akut dan merupakan enzim pertama yang meningkat.

LDH dan kemudian diangkut ke peredaran darah umum oleh sistem limfa dan oer
LDH (Laktat Dehidrogenase) yaitu enzim yang digunakan untuk mendiagnosa MI akut tetapi terlambat dibawa ke RS, karena kadarnya baru meningkat dan mencapai puncaknya pada 2-3 hari, dan jauh lebih lambat dibandingkan dengan CK.

Pada kasus diatas CK dan LDHnya meningkat, itu artinya menandakan bahwa CK dan LDHnya tidak normal, karena pada umumnya enzim (CK dan LDH) dilepaskan dari sel bila sel mengalami cedera dan membrannya pecah. Berbagai Isoenzim hanya dihasilkan oleh sel miokardium dan dilepaskan bila sel mengalami kerusakan akibat hipoksia dan mengakibatkan infark. Isoenzim bocor ke rongga interstitial miokardium dan kemudian diangkut ke peredaran darah umum oleh sistem limfa dan peredaran koronaria, mengakibatkan peningkatan kadar dalam darah.


ASTO
ASTO (Anti Streptosilin Titer O) menunjukkan bahwa seseorang pernah menderita infeksi dengan kuman streptococcus. Dari kasus diatas jumlah ASTO klien 200 Todd Unit yang berarti normal karena data normalnya yaitu < 333 Todd Unit.

EKG
Dari kasus diatas EKG menunjukkan Amplitudo Gelombang T rendah, artinya tidak normal karen adalam keadaan normal Gelombang T asimetris, melengkung dan keatas pada kebanyakan sandapan.

Thorax Photo
Pada kasus diatas, Thorax Photo menunjukkan Cardiomegali disertai kongesti paru, artinya tidak normal. Karena normalnya jantung tidak mengalami pembesaran dan tidak disertai kongesti paru. Cardiomegali atau pembesaran jantung secara umum dapat diperoleh dari Thorax Photo, tetapi penentuan derajat pembesaran secara tepat masih dipertanyakan; Kongesti paru mencirikan adanya lesi jantung tertentu.


www.smartfk.blogspot.com
Readmore »

perkembangan jantung

Perkembangan jantung sejak embrio

Keseluruhan system kardiovasakuler-jantung, pembuluh darah, dan sel darah berasal dari lapisan mudigah mesoderm. Walaupun pada mulanya berpasangan pada hari ke-22 perkembangan kedua tabung tersebut membentuk sebuah tabung jantung tunggal yang agak bengkok yang terdiri atas suatu tabung endokardium di sebelah dalam dan pelapis miokardium di sekelilingnya. Pada minggu keempat sampai ketujuh, jantung terbagi dalam suatu bangunan khas yang berkamar empat.
Pembentukan sekat dalam jantung, sebagian disebabkan oleh perkembangan dari jaringan bantalan endokardium dalam kanalis atrioventrikularis ( bantalan atrioventrikularis ) dan dalam regio konotrunkal ( pembengkakan konotrunkal ). Karena lokasi utama dari jaringan bantalan, banyak malformasi jantung yang berhubungan dengan morfogesis bantalan yang abnormal.
Pembentukan sekat di atrium. Septum primum, suatu Krista berbentun bulan sabit yang turun dari atap atrium, mulai membagi atrium menjadi dua, tetapi meninggalkan sebuah lubang ostium primum untuk menghubungakan kedua bagian atrium tersebut. Kemudian, ketika ostium primum mengalami obliterasi karena bersatunya septum primum dengan bantalan endokardium, ostium sukundum terbentuk oleh karena sel-sel mati dan membentuk sebuah lubang di septum primum. Akhirnya, terbentuklah septum sekundum, tetapi lubang antar kedua atrium, foramen ovale, tetap ada. Baru pada saat lahir, ketika tekanan atrium di kiri meningkat, kedua sekat tersebut tertekan sehingga saling melekat dan hubungan diantara keduanya tertutup. Kelainan sekat atrium dapat berkisar dari sama sekali tidak ada sekat hingga terdapat lubang kecil yang dikenal sebagai foramen ovale paten.
Pembentukan sekat dalam kanalis atrioventrikularis. Empat bantalan endokardium mengelilingi kanalis atrioventrikularis. Menyatunya bantalan atas dan bawah yang saling berhadapan, menutup lubang dari kanalis atrioventrikularis kiri dan kanan. Jaringan bantalan tersebut kemudian menjadi fibrosa dan membentuk katup mitral (bicuspid) di sebelah kiri dan katup tricuspid di sebelah kanan. Menetapnya kanalis atioventrikularis komunis dan pembagian saluran yang abnormal merupakan cacat yang siring ditemukan.
Pembentukan sekat di ventrikel. Septum interventrikularis terbentuk dari pars muskularis yang tebal dan pars membranasea yang tipis yang dibentuk dari bantalan atrioventrikularis endokardium inverior, tonjolan konus kanan dan tonjolan konus kiri. Pada banyak kasus, ketiga komponen ini gagal bersatu sehingga mengakibatkan foramen interventrikularis terbuka. Walaupun kelainan ini berdiri sendiri, biasanya disertai dengan cacat kompensasi lainnya.
Pembentukkan sekat dalam bulbus. Bulbus terbagi menjadi trunkus (aorta dan trunkus pulmonalis), konus (saluran keluar aorta dan trunkus pulmonalis), dan bagian ventrikel kanan yang bertrabekula. Daerah trunkus dibagi oleh septum aortiko pulmonalis yang berbentuk spiral menjadi dua arteri utama. Rigi-rigi konus membagi saluran keluar dari pembuluh aorta dan pulmonalis serta menutup foramen interventrikularis. Beberapa kelainan pembuluh, seprti transposisi pembuluh-pembuluh besar dan atresia valvularis pulmonalis, disebabkan oleh pembagian daerah trunkus dan konus yang abnormal.




Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi perkembangan jantung?

Pembentukan jantung janin yang lengkap terjadi pada akhir semester pertama yaitu masa pembentukan organ, gangguan pada masa ini dapat menimbulkan kecacatan mayor. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan janin adalah:
a. paparan sinar rongent
b. trauma fisis dan psikis
c. minum jamu dan KB
d. gangguan pada neural crest embrio




Perbedaan sirkulasi jantung saat lahir dan setelah lahir:
Janin belum mampu menggunakn paru-parunya sehingga O2 diambil langsung dari ibu melalui plasenta.
Darah dari atrium kanan ke atrium kiri bukan ke ventrikel kanan seperti pada bayi.
Hal ini disebabkan paru-paru janin tersebut belum berfungsi sehingga ventrikel kanan yang merupakan jalan ke paru-paru tidak dapast dilalui.
Terdapat lubang antara atrium kanan dan atrium niri yang disebut foramenovale.
Dari ventrikel kiri darah bayi akan menuju plasenta melalui arteri umbilikalis, kemudian darah yang banyak mengandung O2 ini kembali melalui vena umbilikalis untuk diedarkan keseluruh tubuh.

www.smartfk.blogspot.com
Readmore »

Selasa, 23 Maret 2010

prosedur Irigasi kandung kemih

prosedur pelaksanaan irigasi kandung kemih :

1.pengkajian
- kaji program dokter untuk tipe irigasi dan larutan irigasi yang digunakan
- kaji warna urine dan adanya lendir atau sedimen
- tentukan kateter yang akan dipasang (3lumen atau dua lumen)
- menentukan kepatenan selang drainase

perencanaan
- cuci tangan
- siapkan alat : sarung tangan bersih, larutan irigasi steril, selang irigasi, klem, tiang infus, swab antiseptic, dan alas

Implementasi
-identifikasi klien
-jelaskan prosedur dan tujuan kepada klien
-cuci tangan dan kenakan sarung tangan
- pasang sampiran dan atur pencahayaan
-kaji abdomen bagian bawah untuk melihat adanya distensi
-atur posisi klien , misal dorsal recumbent untuk wanita bila mampu, jika tidak posisi supine
- pasang alas dibawah kateter
-keluarkan urin dari urin bag ke dalam wadah
-dengan menggunakan teknik a septic masukan ujung selang irigasi ke dalam larutan irigasi
-tutup klem pada selang dan gantung larutan irigasi pada tiang infus
- buka klem dan biarkan larutan mengalir melalui selang, pertahankan ujung selang tetap steril,tutup klem
- disinfeksi porta irigasi pada kateter berlumen tiga dan sambungkan ke selang irigasi
- pastikan kantung drainase dan selang terhubung kuat ke pintu masuk drainase pada kateter berlumen tiga
-kateter tertutup continues intermitten : buka klem irigasi dan biarkan cairan yang di programkan mengalir memasuki kandung kemih (100ml adalah jumlah yang normal pada orang dewasa) . tutup selang irigasi selama 20-30 menit dan kemudian buka klem selang drainase
- kateter tertutup continues :
hitung kecepatan tetesan larutan irigasi (slow rate 10-20 tetes/menit, fast rate 20-40rate/menit) dan periksa volume drainase di dalam kantung drainase. pastikan bahwa selang drainase paten dan hindari lekukan selang
- buka sarung tangan dan atur posisi nyaman klien
-bereskan semua perlatan dan cuci tangan id air mengalir

evaluasi
-kaji respon pasien terhadap prosedur
-jumlah dan kualitas drainase
-catat jumlah irigasi yang digunakan intake dan output

dokumentasi

catat tanggal dan waktu pemberian irigasi
-catat jumlah intake dan output drainase
- catat keluhan pasien jika ada
-nama perawat dan tanda tangan



lihat tentang banyak bagian kesehatan lainnya di www.smartfk.blogspot.com
Readmore »

Senin, 22 Maret 2010

John titor

siapa john titor?
John Titor adalah nama yang digunakan pada beberapa notice board selama tahun 2000 dan 2001 dalam poster yang mengklaim sebagai pengelana waktu dari tahun 2036. Dalam poster tersebut ia membuat beberapa prediksi mengenai peristiwa di masa depan, dimulai dari tahun 2004. Ia mendeskripsikan perubahan drastis dimana Amerika Serikat terpecah menjadi lima wilayah, lingkungan dan infrastrukturnya hancur akibat serangan nuklir, dan kebanyakan kekuatan dunia lainnya telah hancur.



Mungkin sebagaian dari kita pernah menyaksikan film Back To The Future, di mana Marty berkelana kembali ke masa silam atau malah ke masa depan dengan bantuan Doc yang menciptakan mesin waktu yang dipasang pada sebuah mobil. Mungkin juga kita pernah menyaksikan film The Terminator, di mana cyborg yang diberi nama TheTerminator dikirim dari masa depan untuk membunuh seorang wanita bernama Sarah J. Connor karena John Connor, anaknya di masa depan akan menjadi penentang sebuah sistem komputer bernama Skynet yang ingin menghancurkan kehidupan manusia di bumi ini. Kedua film ini pada intinya menceritakan perjalanan mengarungi waktu atau time travelling. Dalam film apa saja bisa terlihat nyata. Tapi jika dalam kehidupan yang sebenarnya apakah mungkin?

Terlepas dari perdebatan mungkin dan tidak mungkin, adalah seorang bernama John Titor yang mengaku sebagai seorang pengelana waktu. Orang aneh ini mengaku dirinya seorang tentara Amerika di tahun 2036. John ditugaskan kembali ke tahun 1975 untuk memperbaiki sebuah komputer IBM 5100 yang menurutnya diperlukan untuk men"debug" sebagian besar progam komputer di tahun 2036 mengacu pada "UNIX 2038 timeout error". ( Ini mungkin sebuah istilah yang membingungkan dan harus menunggu 28 tahun lagi untuk dimengerti ---pen). John Titor sengaja dipilih karena kakeknya terlibat langsung dalam pembuatan dan pemrograman komputer IBM 5100 ini. Mirip dengan kisah Back To The Future, John juga memasang mesin waktunya dalam sebuah mobil.

Paling tidak itulah yang dia posting dalam sebuah forum yaitu Time Travel Institute. Pada mulanya tokoh kita ini tidak menggunakan nama John Titor untuk postingnya, namun cuma nama TimeTravel_0. Nama John Titor baru dipakai setelah John diharuskan memasukkan nama untuk sign up untuk mendapatkan account di Art Bell BBS di mana kemudian ia melanjutkan menulis beberapa pengalamannya sebagai seorang pengelana waktu sampai di akhir Maret 2001 postingnya berakhir begitu saja. Walau demikian sampai saat ini banyak situs yang memperoduksi ulang posting John Titor yang tentunya ditambahi narasi dan hal-hal yang berhubungan dengan tokoh kita ini. Salah satunya adalah http://www.johntitor.com/ yang masih online sampai saat ini.

Ada hal yang menarik dari John Titor selain pengakuan yang membuat dahi kita mengernyit ini, yaitu prediksi-prediksinya akan peristiwa-peristiwa penting yang akan terjadi beberapa tahun setelah posting-postingnya itu. Beberapa di antaranya adalah :

1.

Perang saudara di Amerika yang dimulai ketika pemilihan presiden di tahun 2004 dan berakhir tahun 2008.
2.

Olimpiade Musim Panas 2004 adalah Olimpiade terakhir yang akan dilaksanakan.
3.

Perang Dunia III tahun terjadi di tahun 2015 yang ditandai dengan serangan nuklir Rusia ke Amerika, China dan Eropa.

Seperti kita ketahui dua prediksi di atas ternyata tidak terbukti karena tidak ada perang saudara empat tahun terakhir ini di Amerika dan Olimpiade Musim Panas 2006 justru telah sukses dilaksanakan. Kita tinggal menunggu tahun 2015. Mudah-mudahan salah juga. Bukan untuk mengatakan bahwa cerita John Titor hanya bohong belaka tapi Perang Dunia III? Nggak deehh!!

Perdebatan John Titor masih tetap menarik di kalangan peminat kisah pengelana waktu, baik yang tertarik dengan fiksi ilmiahnya maupun pemerhati fisika modern ala Stephen Hawking. Terlepas dari kebenaran dan kebohongan yang diungkapkan John Titor, sebuah buku diterbitkan dengan judul John Titor A Time Traveler's TaleolehThe John Titor Foundation Inc. Cobalah simak pengakuan ibu dari John Titor berikut ini:

"John began posting online with my husband's computer and email address. After about a week, he started using alternate names and Internet routes for his activity. We expressed concern about our security but he assured us we were safe. He said that not only would no one believe him but also the technology to locate him would not be used or could be defeated for a short period. He also had an unusual amount of trust with the people he spoke with online."


silahkan temen-teman menilai sendiri,percaya atau tidak.
Readmore »

nasib anak perantau

aku anak perantauan, dari sumatera aku mengemban tugas keluargaku untuk mengukir cita di negeri orang, bandung kota kembang..
titipan rindu bergumul dengan senyum manis kedua orang tua ku sering kulihat melayang diudara, terkadang menangis aku dibuatnya, mengiris hati, memilukan..
saat aku bergumul dengan kesibukan aktivitasku, saat aku berlomba dengan waktu, saat aku penat dengan kemonotonan sebagai mahasiswa, seringkali membuat ku menaruh harapan besar untuk bisa pulang ke rumah, berkhayal bisa bercengkerama dan bersenda gurau dengan keluarga.


***
hari ini, aku menjenguk teman ku yang sedang terbaring lemah di rumah sakit, wajah nya pucat dan bibirnya kering, imanjinasiku terlalu liar, hingga aku membayangkan, seandainya aku ada di posisinya, dengan kondisi ku sebagai anak perantau, jikalau aku sakit, siapa yang akan menemaniku, kekasih tidak ada, mengandalkan teman, mereka pasti bunyak kesibukannya masing-masing. lalu, dengan siapa aku di temani?


***

hikmah untuk hari ini : himbauan kepada anak kosan : dilarang sakit di rawat di rumah sakit, apalagi gak punya pacar.
Readmore »

Minggu, 21 Maret 2010

selly yustiawati, cheater



she is selly yustiawati. she is a master swindler of Indonesia. its existence being sought by police. if you see, a woman like this photo, so tell police office.
she ever caught by police, but because of ingenuity to deceive,she managed to escape.
she managed to cheat more than 100 million, so be careful with her.
she is beautiful, and from her face looks plain. but the face is very deceptive.
once again, be careful, may be selly are around you...
Readmore »

25 februari 2010



I will tell about this day. 25 February is my first niece birthday. on her happy day, i forgot to say "happy birthday", because in my house is dead lamp daily, so make my handphone is dead too.. beside that, i'm so busy, my my duty as a student and also as an activist, often makes me forget things that are very important day for my family. I feel very guilty, but time can't be repeated.
after that, every time i saw the toy funny, i'll always buy for my nephew, and I'll give the prize, on May, when my lovely sister married.

wait me until that day my sweet nephew, I'll come back to our house, and give my surprise for you..

always love you

dedicated : for my nephew and all my family
Readmore »

Sabtu, 20 Maret 2010

HIV AIDS

Introduction
Background

Neurologic complications from the human immunodeficiency virus (HIV) may arise from HIV itself, opportunistic infections, tumors, or drug-related complications. HIV encephalopathy and AIDS dementia complex (ADC) are the neurologic complications that arise from primary HIV infection, others include vacuolar myelopathy, peripheral neuropathies, and polymyositis.

Several important terms exist concerning CNS conditions caused by HIV. HIV encephalopathy is part of the acute HIV syndrome during seroconversion. HIV-associated progressive encephalopathy (HPE) is a syndrome complex with cognitive, motor, and behavioral features seen in children. ADC, also known as HIV-associated dementia complex (HAD), is characterized by cognitive, motor, and behavioral features in adults, which usually develops in advanced AIDS when CD4+ lymphocyte counts fall below 200 cells/mm3. With the advent of highly active antiretroviral therapy (HAART), a less severe dysfunction, minor cognitive motor disorder (MCMD), has become more common than ADC.

ADC is more frequently associated with advanced age and lowCD4+ counts.
Pathophysiology

The mechanism by which HIV infection leads to ADC is likely multifactorial and is the subject of intense research. The following paradigms are supported by multiple studies.

* HIV neuroinvasion: HIV is thought to enter the brain via HIV-infected monocytes and other infected CD4+ cells, which then differentiate into macrophages. The virus replicates in these cells and can then, in theory, infect other cells, such as microglia, oligodendrocytes, astrocytes, and neurons; macrophages and microglia are the most common. In vitro models have shown that HIV may enter the CNS by transcytosis of endothelial cells.
* Cellular proteins: The widespread pathologic damage may occur via indirect cellular responses with the secretion of chemokines, proinflammatory cytokines, nitrous oxide, and other neurotoxic factors. These products are produced not only from the infected cells (macrophages, astrocytes, microglia), but also from noninfected activated cells. Recently, much attention has been placed on chemokines, such as CCL4 and CXCL12, and their respective chemokine receptors, CCR5 and CXCR4, which may affect many cellular processes including neuronal migration, apoptosis, and neurotransmitter regulation.
* HIV proteins (virotoxins): Damage to neurons may occur through the actions of specific HIV proteins, including gp120, gp41, Tat, Nef, Vpr, and Rev. These viral proteins may be directly toxic to neuronal cells or may cause damage by activating astrocytes, microglia and macrophages to release cytokines, chemokines, or neurotoxic substances. Studies in several transgenic mouse models indicate that expression of a single or multiple HIV genes leads to clinical and histologic abnormalities. By initiating feedback loops, virotoxins may amplify their toxicity and cause widespread damage.
* Autoimmune disease: CNS damage by humoral immune mechanisms, as evidenced by the presence of anti-CNS antibodies in AIDS patients with dementia, but not in those without dementia.
* Altered neurotransmitter release
* Increases in excitatory amino acids and free intracellular calcium

Frequency
United States

The Multicenter AIDS cohort Study prospectively followed 2734 American men with HIV. Before HAART (1990-1992), the incidence of HIV dementia was 21 cases per 1000 person-years; after the advent of HAART (1996-1998), this value decreased to 10.5 cases per 1000 person-years.

The frequency of HPE as an initial AIDS-defining illness in children is 12-67%. In untreated children, the prevalence of HPE is about 50%. In a recent study of HIV encephalopathy in children with HIV infection who are receiving HAART, the rate of active HPE in 2000 was 1.6% and the prevalence of arrested HPE was 10%. HPE relapse occurred in 23% of the sample group with previously arrested HPE.
International

The Australian AIDS surveillance data demonstrate a pre- to post-HAART decline in the incidence of ADC of 135 reported cases in 1993-1995 to 119 cases in 1996-2000. In the same intervals, its prevalence increased from 5.2% to 6.8% because ADC patients live longer with HAART. Not surprisingly, survival of those with ADC and advanced AIDS (CD4 count <100) increased from 5 months pre-HAART to 38.5 months post-HAART.

In a study of patients with HIV in a Ugandan clinic, the prevalence of ADC was 31%. If extrapolated to sub-Saharan Africa (26 million people with HIV out of 40.3 million people infected worldwide), ADC would be the most important cause of dementia under age 40.
Mortality/Morbidity

In one study (pre-HAART), the median survival after diagnosis of ADC was 6 months, or about 2 months less than the survival in AIDS patients without dementia. However, the advent of HAART has not only improved the prognosis of AIDS in general but may also reduce the incidence of ADC and lead to improvement in cognitive function in patients who already have ADC. About 10% of HIV-infected adults have ADC and 30% have MCMD. In children treated with HAART, HPE may be thought of as an infrequent and reversible complication of HIV.
Race

In a large US cohort, the likelihood of ADC was similar in white and nonwhite patients.
Sex

The sex distribution of ADC reflects that of HIV infection.
Age

Older patients have a higher likelihood of having ADC.

Drug use: Viral proteins Tat and gp120 have been shown to have synergistic neurotoxicity with cocaine and methamphetamine. IV drug users may have a higher likelihood of developing ADC.

Other: Poorer prognosis has been associated in patients with lower educational levels, lower CD4 counts and higher HIV RNA levels, anemia, low body mass index, and more constitutional symptoms.
Clinical
History

ADC and HPE affect cognitive, behavioral, and motor function.

* Patients often present with the insidious onset of reduced work productivity, poor concentration, mental slowness, decreased libido, and forgetfulness.
* Apathy and withdrawal from hobbies or social activities are common and must be differentiated from depression.
* Rare features include sleep disturbances, psychosis (with mania), and seizures.
* Motor problems include imbalance, clumsiness, and weakness.
* Early signs and symptoms are subtle and may be overlooked.
* Later, these symptoms evolve into a global dementia with memory loss and language impairment. This can lead to a vegetative state.
* In MCMD, activities of daily living are only mildly impaired unlike ADC.
* Regarding HPE, in infants, characteristic features include decline in intellectual and motor milestones. In young children, the rate of acquisition of new skills decreases and impairment of fine motor ability and dexterity may be associated; they may also have feeding difficulties. In older children and adolescents, the presentation is similar to that of ADC in adults.

Physical

* The neuropsychological examination reveals features more suggestive of subcortical dementia, as seen in Parkinson disease, than of cortical dementia of the Alzheimer type.
o Early on, neuropsychological examination reveals psychomotor slowing, memory loss, and word-finding difficulties. Subcortical involvement with impaired retrieval and manipulation of acquired knowledge is prominent.
o Later, severe psychomotor retardation and language impairment become obvious, leading to akinetic mutism.
* Neurologic examination in adults
o Early on, the neurologic examination may be normal or reveal subtle impairment of rapid limb and eye movements.
o Later, frontal lobe release signs, tremor, hyperreflexia, clonus, spasticity, weakness, and poor coordination develop. These signs may reflect a concomitant vacuolar myelopathy.
o The terminal stage of ADC, after progression over several months, includes severe psychomotor retardation and dementia, apraxia, paraparesis, and akinetic mutism. Death ensues within a few months of reaching this stage.
o Seizures are rare and warrant exclusion of other conditions.
* Price and Brew in 1988 outlined a clinical staging of ADC, summarized by the following:
o Stage 0 (normal): Mental and motor functions are normal.
o Stage 0.5 (equivocal/subclinical): Symptoms may be absent, minimal, or equivocal, with no impairment of work or performance of activities of daily living (ADL). Mild signs (snout response, slowed ocular or extremity movements) may be present. Gait and strength are normal.
o Stage 1 (mild): The patient is able to perform all but the more demanding aspects of work or ADL but has unequivocal evidence of functional, intellectual, or motor impairment. Signs or symptoms may include diminished performance on neuropsychological testing. Patient can walk without assistance.
o Stage 2 (moderate): The patient is able to perform basic activities of self-care but cannot work or maintain the more demanding aspects of daily life. The patient is ambulatory but may require a single prop.
o Stage 3 (severe): The patient has major intellectual incapacity (cannot follow news or personal events, cannot sustain complex conversation, considerable slowing of all outputs). Motor disability precludes walking unassisted (ie, without walker or personal support); walking usually slowed and accompanied by clumsiness of arms.
o Stage 4 (end stage): The patient is in a nearly vegetative state. Intellectual and social comprehension and output are at a rudimentary level. The patient is nearly or absolutely mute. The patient is paraparetic or paraplegic with urinary and fecal incontinence.
* Neurologic examination in pediatric populations
o In neonates, the physical examination findings are often normal.
o Although the age of onset is usually in the first year of life, manifestations may not be noticeable until age 2-3 years. At this time, children may present with cognitive impairment, maskedlike facies, acquired microcephaly, and pseudobulbar and corticospinal tract signs.
o Common findings in older children and adolescents are impaired attention, decreased linguistic and scholastic performance, psychomotor slowing, emotional lability, and social withdrawal. Examination findings are similar to those in adults with ADC.
Readmore »

acute renal failure

Introduction
Background

Until recently, a systematic definition of acute renal failure (ARF) was lacking, which led to significant confusion both clinically and in the medical literature. In 2004, the Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) group published the RIFLE classification of ARF, based on changes from the patient's baseline either in serum creatinine level or glomerular filtration rate (GFR) or urine output (UO).

The RIFLE classification of ARF is as follows:1

* Risk (R) - Increase in serum creatinine level X 1.5 or decrease in GFR by 25%, or UO <0.5 mL/kg/h for 6 hours
* Injury (I) - Increase in serum creatinine level X 2.0 or decrease in GFR by 50%, or UO <0.5 mL/kg/h for 12 hours
* Failure (F) - Increase in serum creatinine level X 3.0, decrease in GFR by 75%, or serum creatinine level >4 mg/dL with acute increase of >0.5 mg/dL; UO <0.3 mL/kg/h for 24 hours, or anuria for 12 hours
* Loss (L) - Persistent ARF, complete loss of kidney function >4 weeks
* End-stage kidney disease (E) - Loss of kidney function >3 months

Since baseline serum creatinine level and GFRs may not be readily available, the consensus committee recommends the use of the Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) equation (see Lab Studies) to estimate the patients GFR/1.73 mm based upon: serum creatinine level, age, gender, and race. The proportional decrease in GFR should be calculated from 75 mL/min per 1.73 mm2, the agreed upon lower limit of normal.

ARF is a common entity in the ED. Emergency physicians play a critical role in recognizing early ARF, preventing iatrogenic injury, and reversing the course of ARF.
Pathophysiology

The driving force for glomerular filtration is the pressure gradient from the glomerulus to the Bowman space. Glomerular pressure is primarily dependent on renal blood flow (RBF) and is controlled by combined resistances of renal afferent and efferent arterioles. Regardless of the cause of acute renal failure (ARF), reductions in RBF represent a common pathologic pathway for decreasing GFR. The etiology of ARF comprises 3 main mechanisms.

* Prerenal failure is defined by conditions with normal tubular and glomerular function; GFR is depressed by compromised renal perfusion.
* Intrinsic renal failure includes diseases of the kidney itself, predominantly affecting the glomerulus or tubule, which are associated with release of renal afferent vasoconstrictors. Ischemic renal injury is the most common cause of intrinsic renal failure.
* Postobstructive renal failure initially causes an increase in tubular pressure, decreasing the filtration driving force. This pressure gradient soon equalizes, and maintenance of a depressed GFR is then dependent upon renal efferent vasoconstriction.

Patients with chronic renal failure may also present with superimposed ARF from any of the aforementioned etiologies.

Depressed RBF eventually leads to ischemia and cell death. This may happen before frank systemic hypotension is present and is referred to as normotensive ischemic ARF. The initial ischemic insult triggers a cascade of events that includes production of oxygen free radicals, cytokines and enzymes, endothelial activation and leukocyte adhesion, activation of coagulation, and initiation of apoptosis. These events continue to cause cell injury even after restoration of RBF. Tubular cellular damage results in disruption of tight junctions between cells, allowing back leak of glomerular filtrate and further depressing effective GFR. In addition, dying cells slough off into the tubules, forming obstructing casts, which further decrease GFR and lead to oliguria.

During this period of depressed RBF, the kidneys are particularly vulnerable to further insults. This is when iatrogenic renal injury is most common. The following are common iatrogenic combinations:

* Preexisting renal disease (elderly, diabetic patients, jaundiced patients) with radiocontrast agents, aminoglycosides, atheroembolism, or cardiovascular surgery
* Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors with diuretics, small- or large-vessel renal arterial disease
* Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) with congestive heart failure (CHF), hypertension (HTN), or renal artery stenosis
* Hypovolemia with aminoglycosides, amphotericin, heme pigments, or radiologic contrast agents

Recovery from ARF is first dependent upon restoration of RBF. Early RBF normalization predicts better prognosis for recovery of renal function. In prerenal failure, restoration of circulating blood volume is usually sufficient. Rapid relief of urinary obstruction in postrenal failure results in a prompt decrease of vasoconstriction. With intrinsic renal failure, removal of tubular toxins and initiation of therapy for glomerular diseases decreases renal afferent vasoconstriction.

Once RBF is restored, the remaining functional nephrons increase their filtration and eventually hypertrophy. GFR recovery is dependent upon the size of this remnant nephron pool. If the number of remaining nephrons is below some critical value, continued hyperfiltration results in progressive glomerular sclerosis, eventually leading to increased nephron loss. A vicious cycle ensues; continued nephron loss causes more hyperfiltration until complete renal failure results. This has been termed the hyperfiltration theory of renal failure and explains the scenario in which progressive renal failure is frequently observed after apparent recovery from ARF.

For related information, see Medscape's Nephrology specialty page and Chronic Kidney Disease Resource Center and End-Stage Renal Disease Resource Center.
Frequency
United States

The distinction between community- and hospital-acquired acute renal failure (ARF) is important for the differential diagnoses, treatment, and eventual outcome of patients with ARF. The annual incidence of community-acquired ARF is approximately 100 cases per 1 million population, and it is diagnosed in only 1% of hospital admissions at presentation. Using the RIFLE classification, hospital-acquired ARF of Risk, Injury and Failure category has been found in 9%, 5%, and 4% of hospital admissions,2 respectively, and in approximately 17%, 12%, and 7% of critical care admissions.3,4 This high incidence of hospital-acquired ARF is multifactorial; it is related to an aging population with increased risks of ARF, the high prevalence of nephrotoxic exposures possible in a hospital setting, and increasing severity of illness.

Mortality/Morbidity

Because most cases of community-acquired ARF are secondary to volume depletion, as many as 90% of cases are estimated to have a potentially reversible cause. Hospital-acquired ARF often occurs in an ICU setting and is commonly part of multiorgan failure. This dichotomy in the etiology of ARF explains the increased mortality rate, dialysis requirements, and rates of progression to end-stage renal failure seen in hospital-acquired ARF compared with community-acquired ARF.

Mortality rates for ARF have changed little since the advent of dialysis at 50%. This curious statistic simply reflects the changing demographics of ARF from community- to hospital-acquired settings. Currently, the mortality rate for hospital-acquired ARF is reported to be as high as 70% and is directly correlated to the severity of the patient's other disease processes. The mortality rate among patients presenting to the ED with prerenal ARF may be as low as 7%. With the advent of dialysis, the most common causes of death associated with ARF are sepsis, cardiac failure, and pulmonary failure. Interestingly, patients who are older than 80 years with ARF have mortality rates similar to younger adult patients. Pediatric patients with ARF represent a different set of etiologies and have mortality rates averaging 25%.

* ARF is not a benign disease. In a recent study, a 31% mortality rate was noted in patients with ARF not requiring dialysis, compared with a mortality rate of only 8% in matched patients without ARF. Even after adjusting for comorbidity, the odds ratio for dying of ARF was 4.9 compared to patients without ARF.
* There seems to be a stepwise relationship between the RIFLE category of renal injury and mortality. Compared with non-AKI, the relative risk (RR) of death for Risk is 2.40; for Injury, it is 4.15; and for Failure, it is 6.4.5
* Mortality rates are generally lower for nonoliguric ARF (>400 mL/d) than for oliguric (<400 mL/d) ARF, reflecting the fact that nonoliguric ARF is usually caused by drug-induced nephrotoxicity and interstitial nephritis, which have few other systemic complications.

Sex

Males and females are affected equally.
Age

The patient's age has significant implications for the differential diagnosis of acute renal failure (ARF).

* Newborns and infants
o The most common cause of ARF is prerenal etiologies.
o Prerenal ARF
+ Perinatal hemorrhage - Twin-twin transfusion, complications of amniocentesis, abruptio placenta, birth trauma
+ Neonatal hemorrhage - Severe intraventricular hemorrhage, adrenal hemorrhage
+ Perinatal asphyxia and hyaline membrane disease (newborn respiratory distress syndrome) both may result in preferential blood shunting away from the kidneys (ie, prerenal) to central circulation.
o Intrinsic ARF
+ Acute tubular necrosis (ATN) can occur in the setting of perinatal asphyxia. ATN also has been observed secondary to medications (eg, aminoglycosides, NSAIDs) given to the mother perinatally.
+ ACE inhibitors can traverse placenta, resulting in a hemodynamically mediated form of ARF.
+ Acute glomerulonephritis is rare and most commonly the result of maternal-fetal transfer of antibodies against the neonate's glomeruli or transfer of chronic infections (syphilis, cytomegalovirus) associated with acute glomerulonephritis.
o Postrenal ARF: Congenital malformations of urinary collecting systems should be suspected.
* Children
o The most common cause of ARF is prerenal etiologies.
o Prerenal ARF
+ The most common cause of hypovolemia in children is gastroenteritis.
+ Congenital and acquired heart diseases are also important causes of decreased renal perfusion in this age group.
o Intrinsic ARF
+ Hemolytic uremic syndrome (HUS) often is cited as the most common cause of ARF in children. The most common form of the disease is associated with a diarrheal prodrome caused by Escherichia coli O157:H7. These children usually present with microangiopathic anemia, thrombocytopenia, colitis, mental status changes, and renal failure.
+ Acute poststreptococcal glomerulonephritis should be considered in any child who presents with HTN, edema, hematuria, and renal failure.
* Adults
o Please refer to History for a general discussion of ARF.
o Please remember that postobstructive ARF in elderly patients should never be overlooked in the ED.

Clinical
History
Acute renal failure (ARF) has a long differential diagnosis. History can help classify the pathophysiology of ARF as prerenal, intrinsic renal, or postrenal failure, and it may suggest some specific etiologies.

* Prerenal failure
o Patients commonly present with symptoms related to hypovolemia, including thirst, decreased urine output, dizziness, and orthostatic hypotension.
o Elders with vague mental status change are commonly found to have prerenal or normotensive ischemic ARF.
o Ask about volume loss from vomiting, diarrhea, sweating, polyuria, or hemorrhage.
o Patients with advanced cardiac failure leading to depressed renal perfusion may present with orthopnea and paroxysmal nocturnal dyspnea.
o Insensible fluid losses can result in severe hypovolemia in patients with restricted fluid access and should be suspected in elderly patients and in comatose or sedated patients.
* Intrinsic renal failure
o Patients can be divided into those with glomerular etiologies and those with tubular etiologies of ARF.
+ Glomerular diseases: Nephritic syndrome of hematuria, edema, and HTN indicates a glomerular etiology of ARF. Query about prior throat or skin infections.
+ Tubular diseases: ATN should be suspected in any patient presenting after a period of hypotension secondary to cardiac arrest, hemorrhage, sepsis, drug overdose, or surgery.
o A careful search for exposure to nephrotoxins should include a detailed list of all current medications and any recent radiologic examinations (ie, exposure to radiologic contrast agents).
o Pigment-induced ARF should be suspected in patients with possible rhabdomyolysis (muscular pain, recent coma, seizure, intoxication, excessive exercise, limb ischemia) or hemolysis (recent blood transfusion).
o Allergic interstitial nephritis should be suspected with fevers, rash, arthralgias, and exposure to certain medications including NSAIDs and antibiotics.
* Postrenal failure
o Postrenal failure usually occurs in older men with prostatic obstruction and symptoms of urgency, frequency, and hesitancy. Patients may present with asymptomatic high-grade urinary obstruction because of chronicity of their symptoms.
o History of prior gynecologic surgery or abdominopelvic malignancy often can be helpful in providing clues to the level of obstruction.
o Flank pain and hematuria should raise a concern about renal calculi or papillary necrosis as the source of urinary obstruction.
o Use of acyclovir, methotrexate, triamterene, indinavir, or sulfonamides implies the possibility of tubular obstruction by crystals of these medications.

Physical

Hypotension and tachycardia are obvious clues to decreased renal perfusion. Evaluation for hypovolemia should include evaluations for orthostatic hypotension, mucosal membrane moisture, and tissue turgor.

Acute fluid overload may lead to compromise of a patient's ability to oxygenate and ventilate.

Patients also may present hypovolemic, with increased risk for iatrogenic complications of their renal failure. Physical examination should include a search for the following signs:

* Skin
o Livido reticularis, digital ischemia, butterfly rash, palpable purpura - Systemic vasculitis
o Maculopapular rash - Allergic interstitial nephritis
o Track marks (ie, intravenous drug abuse) - Endocarditis
* Eyes
o Keratitis, iritis, uveitis, dry conjunctivae - Autoimmune vasculitis
o Jaundice - Liver diseases
o Band keratopathy (ie, hypercalcemia) - Multiple myeloma
o Signs of diabetes mellitus
o Signs of hypertension
o Atheroemboli (retinopathy)
* Ears
o Hearing loss - Alport disease and aminoglycoside toxicity
o Mucosal or cartilage ulcerations - Wegener granulomatosis
* Cardiac
o Irregular rhythms (ie, atrial fibrillation) - Thromboemboli
o Murmurs - Endocarditis
o Increased jugulovenous distention, rales, S3 - Congestive heart failure (CHF)
* Pulmonary
o Rales - Goodpasture syndrome, Wegener granulomatosis
o Hemoptysis - Wegener granulomatosis
* Abdomen
o Pulsatile mass or bruit - Atheroemboli
o Costovertebral angle tenderness - Nephrolithiasis, papillary necrosis
o Pelvic, rectal masses; prostatic hypertrophy; distended bladder – Urinary obstruction
o Limb ischemia, edema - Rhabdomyolysis
* Urine output: Changes in urine output generally are poorly correlated with changes in GFR. Approximately 50-60% of all causes of ARF are nonoliguric. However, categories of anuria, oliguria, and nonoliguria may be useful in differential diagnosis of ARF.
o Anuria (<100 mL/d) - Urinary tract obstruction, renal artery obstruction, rapidly progressive glomerulonephritis, bilateral diffuse renal cortical necrosis
o Oliguria (100-400 mL/d) - Prerenal failure, hepatorenal syndrome
o Nonoliguria (>400 mL/d) - Acute interstitial nephritis, acute glomerulonephritis, partial obstructive nephropathy, nephrotoxic and ischemic ATN, radiocontrast-induced ARF, and rhabdomyolysis

Causes

* Prerenal failure - Diseases that compromise renal perfusion
o Decreased effective arterial blood volume - Hypovolemia, CHF, liver failure, sepsis
o Renal arterial disease - Renal arterial stenosis (atherosclerotic, fibromuscular dysplasia), embolic disease (septic, cholesterol)
* Intrinsic renal failure - Diseases of the renal parenchyma, specifically involving the renal tubules, glomeruli, interstitium
o ATN, ischemia, toxins (eg, aminoglycosides, radiocontrast, heme pigments, cisplatin, myeloma light chains, ethylene glycol)
o Interstitial diseases - Acute interstitial nephritis, drug reactions, autoimmune diseases (eg, systemic lupus erythematosus [SLE]), infiltrative disease (sarcoidosis, lymphoma), infectious agents (Legionnaire disease, hantavirus)
o Acute glomerulonephritis
o Vascular diseases - Hypertensive crisis, polyarteritis nodosa, vasculitis
* Postrenal failure - Diseases causing urinary obstruction from the level of the renal tubules to the urethra
o Tubular obstruction from crystals (eg, uric acid, calcium oxalate, acyclovir, sulfonamide, methotrexate, myeloma light chains)
o Ureteral obstruction - Retroperitoneal tumor, retroperitoneal fibrosis (methysergide, propranolol, hydralazine), urolithiasis, papillary necrosis
o Urethral obstruction - Benign prostatic hypertrophy; prostate, cervical, bladder, colorectal carcinoma; bladder hematoma; bladder stone; obstructed Foley catheter; neurogenic bladder; stricture
Readmore »

Gagal Ginjal akut dan Kronis

1. Gagal ginjal akut
klasifikasi :
- prerenal : disebebabkan hipotensi, hipovolemi, hipoperfusi ginjal
- intrarenal : berupa gangguan akibat nefrotoxic drugs, infeksi glomeroulus, lupus dan diabetes melitus
- postrenal : berupa gangguan uretra, bladder, dan prostat. contoh penyakit adanya batu ureter, pembesaran kelenjar prostat, dan tumor.

manifestasi utama :
- GRF turun mendadak
- urin kurang dari 400cc/24 jam
- hiperkalemia
-asidosis metabolik

stadium gagal ginjal akut:
- awal : awal terjadi GGA, pada stadium ini diakhir dengan oliguri
- fase oliguri : volume urin kurang dari 400 ml/24 jam, produsksi serum (kreatinin, ureum, asama urat) meningkat, dan hiperkalemia
- fase dieuresis : peningkatan volume urin, disertai dengan tanda perbaikan glomeroulus. awasi adanya dehidrasi
- fase penyembuhan : perbaikan fungsi ginjal 3-12 bulan, nilai laboratorium kembali normal,

2. Gagal Ginjal kronis :
Pengertian
Gagal ginjal kronik merupakan perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat,biasanya berlangsung beberapa tahun. (Price, 1992; 812).
Gagal ginjal kronis merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang berlangsung pelahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan menetap yang mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (toksik uremik) sehingga ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit (Hudak & Gallo, 1996).
Kegagalan ginjal kronis terjadi bila ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan internal yang konsisten dengan kehidupan dan pemulihan fungsi tidak dimulai. Pada kebanyakan individu transisi dari sehat ke status kronis atau penyakit yang menetap sangat lamban dan menunggu beberapa tahun. (Barbara C Long, 1996; 368)
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). (Brunner & Suddarth, 2001; 1448)

Etiologi
Penyebab GGK menurut Price, 1992; 817, dibagi menjadi delapan kelas, antara lain:
•Infeksi misalnya pielonefritis kronik
•Penyakit peradangan misalnya glomerulonefritis
•Penyakit vaskuler hipertensif misalnya nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteria renalis
•Gangguan jaringan penyambung misalnya lupus eritematosus sistemik, poliarteritis nodosa,sklerosis sistemik progresif
•Gangguan kongenital dan herediter misalnya penyakit ginjal polikistik,asidosis tubulus ginjal
•Penyakit metabolik misalnya DM,gout,hiperparatiroidisme,amiloidosis
•Nefropati toksik misalnya penyalahgunaan analgesik,nefropati timbal
•Nefropati obstruktif misalnya saluran kemih bagian atas: kalkuli neoplasma, fibrosis netroperitoneal. Saluran kemih bagian bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali kongenital pada leher kandung kemih dan uretra.

Penyebab GGK dapat dibagi dalam 3 kelompok yaitu:
1.Penyebab pre-renal: berupa gangguan aliran darah kearah ginjal sehingga ginjal kekurangan suplai darah --> kurang oksigen dengan akibat lebih lanjut jaringan ginjal mengalami kerusakan, misal: volume darah berkurang karena dehidrasi berat atau kehilangan darah dalam jumlah besar, berkurangnya daya pompa jantung, adanya sumbatan/hambatan aliran darah pada arteri besar yang kearah ginjal, dsb.
2.Penyebab renal: berupa gangguan/kerusakan yang mengenai jaringan ginjal sendiri, misal: kerusakan akibat penyakit diabetes mellitus (diabetic nephropathy), hipertensi (hypertensive nephropathy), penyakit sistem kekebalan tubuh seperti SLE (Systemic Lupus Erythematosus), peradangan, keracunan obat, kista dalam ginjal, berbagai gangguan aliran darah di dalam ginjal yang merusak jaringan ginjal, dll.
3.Penyebab post renal: berupa gangguan/hambatan aliran keluar (output) urin sehingga terjadi aliran balik urin kearah ginjal yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal, misal: akibat adanya sumbatan atau penyempitan pada saluran pengeluaran urin antara ginjal sampai ujung saluran kencing, contoh: adanya batu pada ureter sampai urethra, penyempitan akibat saluran tertekuk, penyempitan akibat pembesaran kelenjar prostat, tumor, dsb.

Stadium
Perjalanan umum gagal ginjal progresif dapat dibagi menjadi 3 stadium
-Stadium I
Penurunan cadangan ginjal (faal ginjal antar 40 % – 75 %). Tahap inilah yang paling ringan, dimana faal ginjal masih baik. Pada tahap ini penderita ini belum merasasakan gejala gejala dan pemeriksaan laboratorium faal ginjal masih dalam masih dalam batas normal. Selama tahap ini kreatinin serum dan kadar BUN (Blood Urea Nitrogen) dalam batas normal dan penderita asimtomatik. Gangguan fungsi ginjal mungkin hanya dapat diketahui dengan memberikan beban kerja yang berat, sepersti tes pemekatan kemih yang lama atau dengan mengadakan test GFR yang teliti.
-Stadium II
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % – 50 %). Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjaL menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat daloam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat obatan yang bersifat menggnggu faal ginjal. Bila langkah langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari kadar protein dalam diit.pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal.
Insufiensi ginjal (faal ginjal antar 20 % – 50 %). Pada tahap ini penderita dapat melakukan tugas tugas seperti biasa padahal daya dan konsentrasi ginjaL menurun. Pada stadium ini pengobatan harus cepat daloam hal mengatasi kekurangan cairan, kekurangan garam, gangguan jantung dan pencegahan pemberian obat obatan yang bersifat menggnggu faal ginjal. Bila langkah langkah ini dilakukan secepatnya dengan tepat dapat mencegah penderita masuk ketahap yang lebih berat. Pada tahap ini lebih dari 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda beda, tergantung dari kadar protein dalam diit.pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar normal.
Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutama menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter / hari. Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5 % – 25 % . faal ginjal jelas sangat menurun dan timbul gejala gejala kekurangan darah, tekanan darah akan naik, , aktifitas penderita mulai terganggu.

Manifestasi Klinis
Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari, dan usia pasien.
-Kardiovaskuler:
•Pada gagal ginjal kronis mencakup hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi system rennin-angiotensin-aldosteron)
•Pitting edema (kaki, tangan, sakrum)
•Edema periorbital
•Gagal jantung kongestif
•Edema pulmoner (akibat cairan berlebih)
•Pembesaran vena leher
•Nyeri dada dan sesak napas akibat perikarditis (akibat iritasi pada lapisan pericardial oleh toksin uremik), efusi pericardial, penyakit jantung koroner akibat aterosklerosis yang timbul dini, dan gagal jantung akibat penimbunan cairan dan hipertensi
•Gangguan irama jantung akibat aterosklerosis, gangguan elektrolit dan kalsifikasi metastatic.
-Dermatologi/integumen:
•Rasa gatal yang parah (pruritis) dengan ekskoriasis akibat toksin uremik dan pengendapan kalsium di pori-pori kulit
•Warna kulit abu-abu mengkilat akibat anemia dan kekuning-kuningan akibat penimbunan urokrom
•Kulit kering, bersisik
•Ekimosis akibat gangguan hematologis
•Kuku tipis dan rapuh
•Rambut tipis dan kasar
•Butiran uremic/urea frost (suatu penumpukan Kristal urea di kulit, saat ini jarang terjadi akibat penanganan yang dini dan agresif pada penyakit ginjal tahap akhir).
-Pulmoner:
•Krekels
•Sputum kental dan liat
•Napas dangkal
•Pernapasan kussmaul
-Gastrointestinal:
•Foetor uremik disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur diubah oleh bakteri di mulut menjadi ammonia sehingga napas berbau ammonia. Akibat lain adalah timbulnya stomatitis dan parotitis
•Ulserasi dan perdarahan pada mulut
•Anoreksia, mual, muntah yang berhubungan dengan gangguan metabolism di dalam usus, terbentuknya zat-zat toksik akibat metabolism bakteri usus seperti ammonia dan metil guanidine, serta sembabnya mukosa usus
•Cegukan (hiccup) sebabnya yang pasti belum diketahui
•Konstipasi dan diare
•Perdarahan dari saluran GI (gastritis erosive, ulkus peptic, dan colitis uremik)
-Neurologi:
•Ensefalopati metabolic. Kelemahan dan keletihan, tidak bias tidur, gangguan konsentrasi, tremor, asteriksis, mioklonus, kejang
•Konfusi
•Disorientasi
•Kelemahan pada tungkai
•Rasa panas pada telapak kaki
•Perubahan perilaku
•Burning feet syndrome. Rasa kesemutan dan seperti terbakar, terutama di telapak kaki
-Muskuloskleletal:
•Kram otot
.Kekuatan otot hilang
•Fraktur tulang
•Foot drop
•Restless leg syndrome. Pasien merasa pegal pada kakinya sehingga selalu digerakkan
•Miopati. Kelemahan dan hipertrofi otot-otot terutama otot-otot ekstremitas proksimal
-Reproduksi:
•Atrofi testikuler
•Gangguan seksual: libido, fertilitas dan ereksi menurun pada laki-laki akibat produksi testosterone dan spermatogenesis yang menurun. Sebab lain juga dihubungkan dengan metabolic tertentu (seng, hormone paratiroid). Pada wanita timbul gangguan menstruasi, gangguan ovulasi sampai amenore
-Hematologi:
•Anemia, dapat disebabkan berbagai factor antara lain:
1.Berkurangnya produksi eritropoetin, sehingga rangsangan eritropoesis pada sumsum tulang menurun
2.Hemolisis, akibat berkurangnya masa hidup eritrosit dalam suasana uremia toksik
3.Defisiensi besi, asam folat, dan lain-lain, akibat nafsu makan yang berkurang
4.Perdarahan, paling sering pada saluran cerna dan kulit
5.Fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder
•Gangguan perfusi trombosit dan trombositopenia. Mengakibatkan perdarahan akibat agregasi dan adhesi trombosit yang berkurang serta menurunnya factor trombosit III dan ADP (adenosine difosfat)
•Gangguan fungsi leukosit. Fagositosis dan kemotaksis berkurang, fungsi limfosit menurun sehingga imunitas juga menurun
-Endokrin
•Gangguan metabolism glukosa, resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Pada gagal ginjal yang lanjut (klirens kreatinin<15 mL/menit), terjadi penurunan klirens metabolic insulin menyebabkan waktu paruh hormone aktif memanjang. Keadaan ini dapat menyebabkan kebutuhan obat penurun glukosa darah akan berkurang
•Gangguan metabolisme lemak
•Gangguan metabolisme vitamin D
-Sistem lain:
•Tulang: osteodistrofi renal, yaitu osteomalasia, osteitis fibrosa, osteosklerosis, dan kalsifikasi metastatic
•Asidosis metabolic akibat penimbunan asam organic sebagai hasil metabolism
•Elektrolit: hiperfosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia

Komplikasi
Komplikasi potensial gagal ginjal kronis yang memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatan mencakup:
1.Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolic, katabolisme, dan masukan diet berlebih.
2.Perikarditis, efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi system rennin-angiotensin-aldosteron.
4.Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin, dan kehilangan darah selama hemodialisis.
5.Penyakit tulang serta klasifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolism vitamin D abnormal, dan peningkatan kadar alumunium.
Stadium III
Uremi gagal ginjal (faal ginjal kurang dari 10 %). Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan diman tak dapat melakukan tugas sehari hair sebaimana mestinya. Gejal gejal yang timbul antara lain mual, munta, nafsu makan berkurang., sesak nafas, pusing, sakit kepala, air kemih berkurang, kurang tidur, kejang kejang dan akhirnya terjadi penurunan kesadaran sampai koma. Stadum akhir timbul pada sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-10 ml / menit atau kurang.
Pada keadaan ini kreatinin serum dan kadar BUN akan meningkat dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita mulai merasakan gejala yang cukup parah karena ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan homeostatis caiaran dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran kemih) kurang dari 500/ hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula mula menyerang tubulus ginjal, kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan biokimia dan gejala gejala yang dinamakan sindrom uremik mempengaruhi setiap sistem dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan menggal kecuali ia mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis.
Readmore »

Senin, 15 Maret 2010

ujung genteng beach


Nirvana was supposed to South Beach juxtaposed with Ujung genteng beach, was one of the most beautiful beaches on the south coast of Java island is directly facing the Indian Ocean wildly. Articles and travel stories about UjungGenteng so scattered in cyberspace, this proves that nature tourism UJung genteng south coast has long been enjoyed by all people. Compass as one of the mainstream media has done an expedition south coast of Java, and Ujung genteng become one of the attractions of South sukabumi expedition in the port other than the queen. The expedition's story can be read on the compass expedition notes, but not so much in the exploration considering the attractive location and the limited time the team used the compass in the expedition. But the interesting note is, Ujung genteng tourism potential is still much that has not known for society Jakarta, Bandung let alone other cities in Indonesia. Poor roads and distance from the center of the city into one that makes much people think twice to go to this place.


The first time I came there, with my friend, latif. we riding motorcycle and spend 8 hours to find this place.


this place is so beautiful, and i think you will not regret if you go here.

The various locations are interesting and exotic by itself eliminate tired after the trip to the location. Edge tiles with a long coastal beaches and white sand so clean to be reasonable given the South Coast as Nirvana. Seven Waves became the belle of surfers who overseas for seven consecutive waves and high waves. besides the famous white sand into the goal for the Green turtle laying eggs, so a tourist attraction to be a witness for these protected animals in the breed.
HUtan perawan cikepuh, with natural conditions and still unspoiled charm adds mystery. still many interesting stories about ujung genteng tourism as one of the world in the southern paradise island of Java, waiting for us to witness the majesty of the Creator to be of value in his admiration.
Readmore »

Kamis, 11 Maret 2010

tentang aku dan kekasihku

ini perkara tentang ujian yang setia menanti ku esok hari.
saya masih di hari ini, dimana saya masih merangkak dan merintis untuk menyosong mentari yang akan terbit esok.
saya mencoba berperang dari rasa malas yang terpatri pada pundak saya. saya coba untuk menjauh darinya, tapi ternyata pengaruhnya begitu hebat sehingga membuat saya tidak bisa lepas.. saya masih terus mencoba mengelak, namun semakin saya mengelak, saya semakin menikmati dan terbuai olehnya..
TUHAN, mengapa dia begitu berarti untukku, sampai-sampai aku menjadi seperti ini.
teman-teman ku yang lain, mereka sudah berlari jauh dan meninggalkan aku dengan nya, aku tidak bisa marah, karena memang tidak ada hakku untuk marah pada mereka, itu pilihan mereka. dan aku harus menjalani pilihanku, yang meski dalam hati kecil aku selalu menolak kehadirannya.
TUHAN, mengapa aku tidak bisa menjauh dari nya, bayang-bayangnya selalu setia menemani perjalanan hidupku..
mengapa dia tidak ingin aku tinggalkan, dan mengapa aku tidak bisa meninggalkannya. ia seperti sudah menjadi bagian dari hidupku yang sulit dipisahkan..
sampai kapan aku akan seperti ini.. terperangkap dalam nista kemalasan..

(lebay mode on)
Readmore »

Selasa, 09 Maret 2010

lagi-lagi air jatuh membasahi bumi

malam ini ketika membaca status teman di FB tentang orang tuanya yang sedang sakit, entah kenapa air ini jatuh membasahi bumi, bukan karena aku tidak tegar, tapi justru ini yang membuatku tegar.
ada rasa khawatir berkecamuk dengan penyesalan yang mendalam. selama ini aku belum pernah sedikit pun membahagiakan mereka, belom pernah aku membuat mereka bangga punya anak seperti ku. belum pernah aku membuat nama mereka di panggil di depan podium karena juara utama.
lalu aku sms mereka, sekedar menanyakan kabar dan berkata bahwa aku merindukan mereka. meski mungkin mereka mengira aku ada maksud berkata itu, karena setiap kali aku sms mereka hanya keluhan yang selalu kukatakan, selalu meminta duit tambahan yang habis karena aku sering lapar mata.
lagi-lagi air ini menetes, ketikapun aku menulis, mata ini masih berkaca-kaca, dengan terus menerus menjatuhkan butiran2x suci ke bumi. lagi-lagi aku membasahi bumi, bukan karena aku tidak tegar, tapi justru inilah bukti ketegaranku.
saat aku tidak dirundung emosi, dalam hati aku ukir cita-cita untuk memberikan senyuman lebar kepada mereka, aku ingin mengukir namaku seperti pahlawan-pahlawan yang berhasil membuat sejarah dan membuat mereka dikenang sepanjang masa, karena nama mereka tercantum dalam buku ajar setiap murid sekolahan. dan tentu akan membuat orang tua pahlawan bangga dan bahagia.
sekali lagi, ku banjiri bumi ini.
aku merindukan mereka, aku rindu, bukan rindu karena nafkah mereka, bukan pula rindu karena status-status teman di fb banyak berkata bahwa mereka rindu pada orang tua. aku rindu dengan sebenar-benarnya rindu..

aku sayang mereka, dan mengasihi mereka.. aku akan berusaha menunjukkan kemampuan terbaikku untuk segala hal. aku akan menuruti mereka, karena aku mengasih mereka.
aku harap ini bukan lah sebuah janji yang hanya terukir dalam blog ini, aku harap ini bukan sebuah jerita hati yang berharap ada orang membaca dan ikut memberi simpati kepadaku.
aku publikasi bukan untuk mencari sensasi, tapi karena ini adalah bukti sekaligus pengingatku ketika suatu saat nanti emosi ku meledak dan membuat ku kesal pada mereka.
aku sayang mereka
Readmore »

Sabtu, 06 Maret 2010

Senyum ini milik siapa?

Ada seseorang meninggalkan senyumnya di pinggir jalan. Ada seseorang lupa meletakkan senyumnya di wajahnya. Seseorang itu nampak seorang perempuan karena senyumnya ini sangat manis. Seseorang itu juga… terlihat seperti seorang yang pelupa, atau tidak mau tahu akan keberadaan senyumnya? Bisa keduanya.

Aku datang menyusuri jalan, mengikuti jejak yang ditimbulkan oleh si pemilik senyuman itu. Sungguh… senyum ini membuatku penasaran. Kulihat jejak berwarna biru tua ini terlihat sangat menggelikan. Jalannya berliku-liku. Aku pun mengikutinya sambil menahan tawa dalam hatiku.

Perjalanan panjang kulalui. Senyum yang kusimpan di dalam sapu tangan ungu ini membawaku jauh dari tempat dimana kutemukan dia. Senyum ini membawaku melewati lapangan yang luas, hamparan rumput yang indah, sekelompok penyanyi pinggir jalan dengan suara memukau, tumpukkan buku yang hebat, sampai sebuah patung yang sangat megah. Senyum ini membuatku lelah.

Jejak biru tua itu terlihat makin menipis. Aku tak sabar ingin menghampirinya. Memuaskan rasa keingintahuanku akan pemilik senyummanis ini. Serta merta menanyakan alasan mengapa dia sampai teganya meninggalkan senyum seindah ini.

Jejak biru tua itu habis beberapa langkah kemudian. Aku terdiam di sebuah kotak telepon tua yang sudah usang. Disekelilingku? Tak ada apa-apa kecuali pepohonan rindang. Dari sudut kanan terdengar suara derap langkah ringan. AKu menoleh ke arahnya dan mendapati seorang perempuan yang sangat menarik. Kuyakinkan diriku bahwa senyum ini pasti miliknya setelah aku memandang wajahnya. Aku menghampirinya, diapun menghampiriku.

“Senyum ini pasti milik kamu… “, kata kami bersamaan.

Kami saling berpandangan, dan saling tersenyum.
Readmore »

contoh kasus pengkajian kanker bladder

PENGKAJIAN

Kasus
Mr. J 65 tahun dirawat di Rumah Sakit dengan keluhan nyeri pada pelvis dan keluar darah saat berkemih. Hasil pengkajian perawat didapatkan : klien tidak bisa menahan berkemih dan sering berkemih, saat dipalpasi terdapat massa pada bagian abdomen, hepatomegali (+), dan limphadenopathy (+), konjungtiva : pucat.
Hasil laboratorium : urine : tampak keruh, enzim telomerase (+) : BUN : 25mg/dl, Hb 10 g/dl, hasil dari cystoscopy : ada lesi dan massa pada kandung kemih. Mr. J mendapat terapi mitomycin dan direncanakan akan dilakukan pembedahan radical cystectomy.
Mr. J merupakan perokok berat dan bekerja di pabrik jaket kulit di bagian pewarnaan.
4.1 Identitas Klien
Nama : Mr. J
Usia : 65 tahun
Pekerjaan : bekerja di pabrik jaket kulit bagian pewarnaan

4.2 Keluhan utama : nyeri pada pelvis dan keluar darah saat berkemih
P = palliative/provocative : kaji hal apa yang bisa memperberat nyeri, dan hal-hal yang bisa memicu timbulnya nyeri. Misalnya sakitnya bertambah berat ketika kurang minum, kurang beraktivitas (sering duduk ) yang menyebabkan distensi bladder.
Q = quality/quantity : kaji bagaimana karakter nyeri yang dirasakan klien (misalkan seperti terbakar, tumpul, tertusuk, dll.). Kuantitasnya seperti nyeri dirasakan terus menerus atau pada saat tertentu saja dan akan mereda atau menjadi berat saat melakukan kegiatan seperti apa? Pada kasus ini tidak teridentifikasi. Namun, pada kasus kanker kandung kemih biasanya klien merasa panas saat berkemih dan nyeri pada pelvis yang dirasakan bersifat tumpul.
R = region: kaji dimana letak terjadinya nyeri yang dirasakan klien. Pada kasus ini nyeri terdapat pada bagian pelvis. Kaji apakah hematuria terjadi terus menerus pada saat miksi atau intermittent. Pada kasus kuantitas dan kualitas nyeri tidak teridentifikasi.Namun biasanya nyeri pada pelpis bersifat tumpul. Hematuria pada Ca bladder biasanya dirasakan secara intermittent pada seluruh proses miksi.
S = scale : kaji skala nyeri yang dirasakan klien dengan menggunakan skala 1-10, untuk menggambarkan tingkat nyeri yang dirasakan klien.
T = time : kaji berapa lama nyeri berlangsung dan seberapa sering nyeri dirasakan klien. Pada kasus hal ini tidak teridentifikasi.

4.3 Riwayat kesehatan klien
4.3.1 Riwayat kesehatan masa lalu.
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit penyakit saluran kemih.
4.3.2 Riwayat kesehatan saat ini.
Klien mengeluh nyeri pada pelvis dan keluar darah saat berkemih.
4.3.3 Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada klien apakah ada anggota keluarga pasien yang pernah mengalami penyakit yang sama atau penyakit ginjal lainnya. Orang-orang yang keluarganya ada yang menderita kanker kandung kemih memiliki resiko lebih tinggi untuk menderita kanker ini. Peneliti sedang mempelajari adanya perubahan gen tertentu yang mungkin meningkatkan resiko terjadinya kanker ini.
4.3.4 Riwayat obat obatan
Klien mendapatkan terapi mitomycin. Tanyakan apakah klien mendapat terapi siklofosfamid atau arsenik untuk mengobati kanker dan penyakit lainnya.
4.3.5 Riwayat penyalahgunaan obat-obatan dan alkohol.
Penggunaan alkohol bisa mengiritasi kandung kemih dan menimbulkan peradangan yang dapat menyebabkan karsinoma sel skuamosa.
4.3.6 Riwayat merokok
Klien merupakan perokok berat. Perokok baik aktif maupun pasif dapat menghasilkan metabolisme karsinogen yang dihasilkan oleh metabolisme triptopan yang abnormal.
4.3.7 Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
1. Kebiasaan klien menahan berkemih
2. Kebersihan setelah buang air seni
3. Menjaga kebersihan pakaian dalam
4.3.8 Riwayat Psikososial
a. Persepsi terhadap kondisi klien
• Kaji apakah klien merasa tubuhnya berbeda sejak ia menderita penyakit urinary?
• Kaji gambaran berbagai rasa sakit yang dialami yang berhubungan dengan masalah urinary?
b. Mekanisme koping dan system pendukung
• Kaji apakah klien bisa mengatasi masalah yang berhubungan dengan masalah urinary.
• Kaji strategi apa yang digunakan untuk mengatasi masalah urinary.
c. Pengkajian pengetahuan klien dan keluarga
• Kaji pemahaman tentang penyebab dan perjalanan penyakit
• Kaji pemahaman tentang pencegahan, perawatan, terapi medis, serta tindakan pembedahan.
d. Nilai – kepercayaan
• Kaji apakah klien menyakini bahwa datangnya penyakit urinary dipengaruhi oleh kepercayaan yang di anut klien.
• Kaji apakah pengobatan klien didasarkan atas nilai kepercayaan klien.
4.4 PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum: Kompos mentis. Kaji pula adanya tanda-tanda fatigue atau letargi.
2. Tanda-tanda vital: Kaji tekanan darah,HR,RR dan suhu. Pada kasus tidak teridentifikasi.
3. Sistem tubuh:
3.1 Pernafasan(B1:Breathing):
- Kaji apakah ada kelainan pada hidung.
- Kaji apakah trakea letaknya normal.
3.2 Kardiovaskuler(B2:Bleeding)
- Kaji apakah ada nyeri dada.
- Kaji bagaimana suara jantung
- Kaji apakah ada edema.Pada klien kanker kandung kemih biasanya ada edema pada ekstremitas bawah.
3.3 Persyarafan (B3:Brain)
- Kesadaran: (kompos mentis)
- GCS: E=4 ,V=5 ,M=6. Total nilai:15
- Kepala dan wajah : Kaji apakah ada kelainan atau pucat.
- Mata:
• Sklera : Kaji apakah ada ikterus
• Konjungtiva: Pucat.
• Pupil: kaji apakah pupil klien isokor.
- Leher: Bagaimana tekanan vena jugularis dan apakah klien mengalami cegukan
- Persepsi sensori: kaji apakah ada kelainan pada:
• Pendengaran
• Penciuman
• Pengecapan
• Penglihatan
3.4 Perkemihan (B4:Bladder)
Bagaimana pola berkemih klien? Hal ini untuk mendeteksi factor predisposisi terjadinya kanker pada pasien (dorongan, frekuensi, dan jumlah)
- Adakah disuria? Klien mengeluh disuria
- Adakah urgensi & frekuensi? Klien mengeluh urgency dan frekuensi
- Kaji adakah hesitancy (memulai kencing yang lama dan disertai mengejan.
- Kaji adakah bau urine yang menyengat?
- Kaji bagaimana haluaran volume orine, warna (keabu-abuan) dan konsentrasi urine?
Warna urine tampak keruh.
- Kaji adakah nyeri.
Nyeri terjadi di daerah panggul atau punggung dapat terjadi pada metastasis kanker
tersebut.
- Adakah nyeri pangggul atau pinggang-biasanya pada infeksi saluran kemih bagian atas

3.5 Pencernaan(B5: Bowel)
- Kaji apakah mulut kering
- Kaji apakah tenggorokan terlihat kering atau kemerahan
- Kaji apakaj abdomen mengalami distensi.Biasanya pada klien kanker kandung kemih ada distensi pada bagian andomen
- Kaji apakah klien mengalami konstipasi dan berapa kali BAB dalam sehari.
- Ukur berat badan klien
- Kaji bagaimana pola diet yang dilakukan oleh klien
3.6 Imunologi
- Ada limfadenopathy
- Ada hepatomegali
4.5 Pemeriksaan diagnostic
4.5.1 Laboratorium
• Pemeriksaan Hb
Hb menurun oleh karena kehilangan darah, infeksi, uremia, gros atau micros hematuria
Pada kasus Hb klien 10 mg/dl
• Pemeriksaan Leukosit
Bila terjadi infeksi dan terdapat pus dan bakteri dalam urin
• Acid phospatase meningkat jika kanker prostat metastase.
• ACTH meningkat mengindikasikan terjadinya kanker paru.
• Alkaline phosphatase meningkat mengindikasikan adanya kanker tulang atau metastase ke tulang, kanker hati, lymphoma, leukemia. Calsium meningkat mengindikasikan metastase tulang, leukemia, lymphoma, multiple myeloma, kanker (paru, ginjal, bladder, hati, paratiroid).
• LDH meningkat mengindikasikan adanya kanker hati, metastase ke hati, lymphoma, leukemia akut
• SGPT (AST), SGOT (ALT) meningkat mengindikasikan adanya metastase kanker ke hati.
• Testosteron meningkat mengindikasikan adanya kanker adrenal, ovarium.
• Kreatinin Plasma dan Nitrogen Urea Darah atau Blood Urea Nitrogen (BUN)
Konsentrasi Kreatinin Plasma dan Nitrogen Urea Darah (BUN) juga dapat digunakan sebagai petunjuk laju filtrasi glomerulus. Konsentrasi BUN normal besarnya antara 10-20 mg/100 ml, sedangkan konsentrasi kreatinin plasma besarnya 0,7 – 1,5 mg/100ml. kedua zat ini merupakan hasil akhgir nitrogen dari metabolosme protein yang normal diekskresi dalam urin. Bila GFR turun seperti pada insufisiensi ginjal, kadar kreatinin dan BUN plasma meningkat. Keadaan ini dikenal sebagai azotemia (zat nitrogen dalam darah). Pada kasus, BUN pasien mengalami peningkatan (25 mg/dL).
• Pemeriksaan sampel urin
Pada kasus urin pasien tampak keruh, terdapat eritrosit (hematuria).

4.5.2 Radiology
• Pemeriksaan ultrasound
Ultrasound atau ultrasonografi (USG) menggunakan gelombang suara yang dipancarkan ke dalam tubuh untuk mendeteksi abnormalitas. Organ-organ dalam sistem urinarius akan menghasilkan gambar-gambar ultrasound yang khas, misalnya abnormalitas adanya akumulasi cairan, masa, malformasi, perubahan ukuran organ ataupun adanya obstruksi.
• Pemeriksaan dengan sinar X
1. Computed Tomography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan CT dan MRI merupakan teknik inovatif yang akan memberikan gambar penampang ginjal serta saluran kemih yang sangat khas. Kedua pemeriksaan ini untuk melihat ukuran, bentuk serta posisi ginjal: dan mengidentifikasi semua kelainan seperti batu ginjal atau batu pada saluran perkemihan, hidronefrosis, kista, tumor atau pergeseran ginjal akibat abnormalitas jaringan sekitarnya.
2. Urografi Intravena (Intravenous Pyelogram atau IVP)
Pemeriksaan urografi intravena atau yang dikenal IVP memungkinkan visualisasi ginjal, ureter dan kandung kemih. Pemeriksaan IVP dilaksanakan sebagai bagian dari pengkajian pendahuluan terhadap setiap masalah urologi yang dicurigai, khususnya dalam menegakkan diagnose lesi pada ginjal dan ureter.
4.5.3 Pemeriksaan penunjang
1. Cystoscopy
Pemeriksaan cystoscopy merupakan metode untuk melihat langsung uretra dan kandung kemih. Alat cystoscop dimasukkan melalui uretra ke dalam kandung kemih. Kateter uretra yang halus dapat dimasukkan melalui cystoscop sehingga ureter dan pelvis ginjal dapat dikaji. Cystoscop juga memungkinkan untuk mendapatkan specimen urin dari setiap ginjal guna mengevaluasi fugsi ginjal. Pada kasus hasil cystoskopi ada lesi dan masa pada kandung kemih.
2. Biopsy
Biopsi kandung kemih adalah sebuah prosedur yang melibatkan pengeluaran sepotong kecil jaringan dari kandung kemih untuk diperiksa, biasanya dilakukan biopsi sebagai bagian dari sistoskopi. Tes ini paling sering dilakukan untuk memeriksa kanker kandung kemih atau uretra.
Normal Hasil : dinding kandung kemih halus. Kandung kemih ukuran normal, bentuk, dan posisi. Tidak ada penghalang, pertumbuhan, atau batu.
Adanya sel-sel kanker menunjukkan kanker kandung kemih. Jenis kanker dapat ditentukan dari sampel biopsi.
Readmore »

sindrom nefrotik

Definisi
a. Status klinis yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang massif (Donna L. Wong, 2004).
b. Kumpulan gejala yang disebabkan oleh injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan karakteristik; proteinuria, hipoproteinuria, hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan Rita Yuliani, 2001).
c. Sindrom nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala yang terdiri dari proteinuria massif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam), hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai atau tidak disertai dengan edema dan hiperkolesterolemia. (Rauf, 2002).

Jadi dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa Sindroma Nefritis (SN) adalah keadaan dimana terjadi gangguan pada sistem filtrasi ginjal, yaitu terutama pada glomerulusnya.

Etiologi
Sindroma Nefrotik dibagi menjadi :
a) SN Primer, merupakan Sindroma Nefrotik Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya).
Chrug dkk,membagi SN primer menjadi 4 golongan berdasarkan histopatologinya,yaitu:
1. Kelainan minimal. Dengan menggunakan mikroskop biasa tidak tampak kelainan,tetapi pada penggunaan mikroskop elektron akan terlihat foot prosessus sel epitel terpadu.
2. Nefropathy membranosa. Dimana semua glomerulus tampak menebal.
3. Glomerulonefritis proliferatif
4. Glomerulosklerosis fokal segmental. Pada kelainan ini yang paling terlihat adalah sklerosis glomerulus dan sering disertai dengan atrofi tubulus.

b) SN Sekunder, tipe ini penyebabnya berasal dari luar ginjal (ekstra renal). Umumnya menimpa orang dewasa, bisa diakibatkan oleh penyakit-penyakit tertentu seperti :
• penyakit pasca infeksi seperti: Glomerulonefritis,Infeksi bakteri sistemik,Hepatitis B, HIV,Endokarditis bakterial subakut
• Penyakit vaskular seperti:Sindrom uremik-hemolitik,Trombosis vena renalis,Lupus
• Penyakit keluarga seperti:Sindrom alport dan Diabetes mellitus
• Nefrosis alergik.
• Toksik-toksik spesifik,seperti: logam-logam berat dan obat-obatan

c) Congenital Nefrotik Syndrom.
Diturunkan sebagai resesif autosomal atau karena reaksi maternofetal. Resisten terhadap semua pengobatan.Gejalanya meliputi adanya edema pada masa neonatus. Prognosisnya buruk dan biasannya pasien meninggal dalam bulan-bulan pertama kehidupannya.






Manifestasi klinis
• Manifestasi utama sindrom nefrotik adalah edema. Edema biasanya bervariasi dari bentuk ringan sampai berat (anasarka). Edema biasanya lunak dan cekung bila ditekan (pitting), dan umumnya ditemukan disekitar mata (periorbital) dan berlanjut ke abdomen daerah genitalia dan ekstermitas bawah.
• Penurunan jumlah urin : urine gelap dan biasanya berbusa
• Pucat
• Hematuri
• Anoreksia
• Diare disebabkan karena edema mukosa usus.
• Sakit kepala, malaise, nyeri abdomen, berat badan meningkat dan keletihan umumnya terjadi.
• Gagal tumbuh dan pelisutan otot (jangka panjang)
• Proteinuria masif (Protein di dalam urin)
• Hipoalbuminemia (menurunnya kadar albumin dalam darah)
• Hiperlipidemia(peningkatan lemak dalam darah)
• Lipiduria(ada lemak di dalam urin)
• Liperkoagulabilitas(kecenderungan peningkatan penggumpalan darah)
• Nyeri perut
2.4 Komplikasi
Komplikasi dari Sindrom Nefrotik dipengaruhi oleh beberapa hal,yaitu:kelainan histopatologi,lamanya sakit dan usia pasien.
1. Malnutrisi dan Pertumbuhan abnormal.
Penyebab retardasi pertumbuhan pada pasien dengan SN tanpa diberikan kortikosteroid adalah malnutrisi protein, kalori, kurang nafsu makan,malabsorbsi karena edema saluran gastrointestinal. Namun yang menjasi masalah utama adalah pengobatan dengan kortikosteroid. Pengobatan kortikosteroid dengan dosis tinggi dan waktu yang lama dapat memperlambat maturasi tulang dan terhentinya pertumbuhan linier: terutama apabila dosis melampaui 5mg/m2/hari. Selama pengobatan kortikosteroid tidak terdapat berkurangnya produksi atau sekresi hormon pertumbuhan. Telah diketahui bahwa kortikosteroid mengantagonis efek hormon pertumbuhan endogen dan eksogen pada tingkat jaringan perifer melalui efeknya terhadap somatomedin. Pada saat ini untuk mencegah gangguan pertumbuhan ialah dengan mencegah pemberian pengobatan kortikosteroid terlalu lama dan tidak perlu, disamping dosis tinggi, diupayakan meningkatkan pemberian kalori dan protein secukupnya dan sedapat mungkin mengurangi stress psikologi.
2. Infeksi sekunder, disebabkan gangguan mekanisme pertahanan humoral, penurunan gamma globulin serum.
3. Gangguan koagulasi, berhubungan dengan kenaikan beberapa faktor pembekuan yang menyebabkan keadaan hiperkoagulasi.
Kelainan hemostatik pada SN dapat timbul dari dua mekanisme yang berbeda yaitu:
a. Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:
- Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein di dalam urin seperti antitrombin III, protein S bebas, plasminogen dan alfa antiplasmin
- Hipoalbuminemia, menimbulkan aktivasi trombosit lewat tromboksan A2,meningkatkan sintesis protein prokoagulan karena hiporikia dan tertekannya fibribolisis.
b. Aktivasi sistem hemostatik di dalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerulus yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.
4. Akselerasi aterosklerosis, akibat dari hipelipidemia yang lama.
Dulu disebut kolesterolemia bila kadar kolesterol >250 mg/100 ml. Akhir-akhir ini disebut juga sebagai hiperlipidemia oleh karena bukan hanya kolesterol saja yang meningkat namun beberapa konstituen lemak meninggi dalam darah. Konstituen lemak itu adalah:
a) Kolesterol
b) LDL
c) VLDL
d) Trigliserida
Akibat hipoalbuminemia, sel-sel hepar terpacu untuk membuat albumin sebanyak-banyaknya. Bersamaan dengan sintesis albumin ini, sel-sel hepar juga akan membuat VLDL. Dalam keadaan normal VLDL akan diubah oleh lipoprotein lipase menjadi LDL. Tetapi pada SN, aktifitas enzim ini terhambat oleh adanya hipoalbuminemia dan tingginya kadar asam lemak bebas. Disamping menurunnya aktifitas lipoprotein lipase ini disebabkan pula oleh rendahnya kadar apolipoprotein plasma sebagai akibat keluarnya protein ke dalam urin. Jadi hiperkolesterolemia ini tidak hanya disebabkan oleh produksi yang berlebihan, tetapi juga akibat gangguan katabolisme fosfolipid.

5. Syok hipovolemik. Komplikasi hipovolemia dapat terjadi sebagai akibat pemakaian diuretik yang tidak terkontrol, terutama pada kasus yang disertai dengan sepsis, diare, dan muntah. Gejala dan tanda hipovolemia ialah hipotensi, takikardia, akral dingin dan perfusi buruk, peningkatan kadar urea dan asam urat dalam plasma. Pada beberapa anak memberi keluhan nyeri abdomen. Hipovalemia diterapi dengan pemberian cairan fisiologis dan plasma sebanyak 15-20 ml/kg dengan cepat, atau albumin 1 g/kg berat badan.

6. Efek samping obat-obatan yang tidak diinginkan: diuretik, antibiotik, kortikosteroid, antihipertensi, sitostatika yang sering digunakan pada pasien sindrom nefrotik.


7. Gagal ginjal.

8. Periotinitis berhubungan dengan asites.
Streptokokus pneumonia merupakan penyebab pada sebagian pasien dan seperempat lainnya oleh kuman E.coli. pada penelitian lainnya streptokokus pneumonia merupakan patogen utama. Akibat asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium, kadang-kadang terjadi pula penyebaran hematogen jika telah terjadi bakteremia. Sekitar 10-30% pasien dengan sirosis dan asites akan mengalami komplikasi seperti ini. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses. Hal tersebut terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antarmolekul komponen asites.

9. Kerusakan kulit akibat infeksi.

10. Anemia ringan
Readmore »

Jumat, 05 Maret 2010

tips memilih laptop

buat yang ingin membeli laptop tapi bingung mau yang seperti apa. berikut ini adalah tips dan trik memilih laptop
1. jangan beli laptop hanya karena merek, tapi lihat spesifikasi.
2. lihat intel yang digunakan. urutannya : pentium, dual core, core 2 duo, quad core
3. beli laptop yang sesuai kebutuhan
4. jangan tertipu dengan harga. harga mahal tidak menjamin.
5. DELL bisa menjadi salah satu pilihan anda..

hahaa....pamer laptop sendiri yeuh..
Readmore »

Rabu, 03 Maret 2010

GINJAL dan SALURAN KEMIH

ANATOMI GINJAL DAN SALURAN KEMIH

Sedikit orang yang menyadari betapa mengagumkannya ginjal kita. Ginjal sesungguhnya merupakan pabrik kimia yang sangat rumit. Ginjal mampu menyaring seluruh suplai darah di tubuh kita 25 kali dalam satu hari. Ginjal membersihkan kotoran beracun yang dihasilkan tubuh sementara dalam waktu yang bersamaan ginjal juga menjaga keseimbangan kandungan garam, asam dan air dalam tubuh. Limbah kimia dan kelebihan air dikumpulkan oleh ginjal dan disalurkan ke kandung kemih dalam bentuk urin. Ginjal juga membantu kondisi lingkungan tubuh dan menghasilkan hormon penting untuk mengatur tekanan darah dan produksi sel darah merah. Walaupun kita jarang memperhatikan dan karena ginjal kita biasa bekerja dengan indahnya, kerja ginjal tidak begitu kita hargai sampai saatnya kerja ginjal tersebut gagal. Kegagalan kerja ginjal memicu tekanan darah tinggi, anemia, dan menumpuknya limbah dalam darah; yang dapat membahayakan jiwa.

Saluran kemih

Sistem urinaria adalah suatu sistem dimana terjadinya proses penyaringan darah sehingga darah bebas dari zat-zat yang tidak dipergunakan oleh tubuh dan menyerap zat-zat yang masih dipergunakan oleh tubuh.

Saluran kemih terdiri atas beberapa organ yaitu : Ginjal, Ureter, Vesika Urinaria (Kandung Kemih) dan Uretra.

1. Ginjal

Masing-masing ginjal mempuyai panjang kira-kira 12 cm dan lebar 2,5 cm pada bagian paling tebal. Ginjal terletak di bagian belakang abdomen. Ginjal kanan terletak lebih rendah dari ginjal kiri karena ada hepar di sisi kanan.

Ginjal berbentuk seperti biji kacang dan permukaan medialnya yang cekung disebut hilus renal yaitu tempat masuk dan keluarnya saluran seperti pembuluh darah, pembuluh getah bening, saraf dan ureter.

2. Ureter

Ureter muncul sebagai perpanjangan dari pelvis renalis yang bermuara ke kandung kemih pada suatu daerah tribone. Air kemih disekresikan oleh ginjal dialirkan ke vesika urinaria (kandung kemih melalui ureter).

Ureter terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung melalui ginjal ke kandung kemih (vesika urinaria) panjangnya kira-kira 25-30 cm dengan penampang + 0,5 cm. Ureter sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian terletak dalam rongga pelvis. Dinding ureter terdiri atas tiga lapisan yaitu lapisan mukosa, otot polos dan jaringan fibrosa.

Fungsi ureter : menyalurkan urine dari ginjal ke kandung kemih. Dimana yang berperan adalah dinding ureter, kerena pada lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik dalam 5 menit sekali yang akan mendorong air kemih masuk ke dalam kandung kemih.

3. Vesika Urinaria

Kendung kemih terletak dibelakang simpisis pubis merupakan penampung urine. Selaput mukosa berbentuk lipatan yang disebut rugae (kerutan) yang disertai dengan dinding otot yang elastis dapat mencembungkan kandung kemih yang sangat besar dan menampung jumlah urine yang banyak. Kandung kemih mendapat inervasi baik dari sistem simpatik parasimpatik sedang ureter hanya mendapat serabut dari sistem saraf simpatik.

Kandung kemih berbentuk seperti kerucut. Bagian-bagiannya ialah verteks, fundus dan korpus. Bagian verteks adalah bagian yang meruncing kearah depen dan berhubungan dengan ligamentum vesika umbilikus medius. Bagian fundus merupakan bagian yang menghadap kearah belakang dan bawah. Bagian korpus berada diantara verteks dan fundus. Bagian fundus terpisah dari rektum oleh spasium rektovesikula yang terisi oleh jaringan ikat, duktus deferens, vesikula seminalis. Dinding kandung kemih terdiri dari tiga lapis otot polos dan selapis mukosa yang berlipat-lipat. Pada dinding belakang lapisan mukosa, terlihat bagian yang tidak berlipat daerah ini disebut trigonum liestaudi.

4. Uretra

Uretra merupakan saluran sempit yang berpangkal pada kandung kemih yang berfungsi menyalurkan air kemih keluar dan juga untuk menyalurkan air kemih keluar dan juga untuk menyalurkan semen. Pada laki-laki uretra berkelok-kelok, menembus prostat, kemudian melewati tulang pubis, selanjutnya menuju penis. Oleh karena itu pada laki-laki uretra dibagi menjadi 3 bagian, yaitu pars proetalika, pars membranosa dan pars kavermosa. Muara uretra kearah dunia luar disebut meatus.

Pada perempuan, uretra terletak di belakang simfisis pubis, berjalan miring, sedikit keatas, panjangnya + 3-4 cm. Lapisan uretra wanita terdiri dari tunika muskularis (sebelah luar), lapisan spongeosa yang merupakan fleksus dari vena-vena dan lapisan mukosa (lapisan sebelah dalam). Muara uretra pada perempuan terletak disebelah atas vagina, antara klitoris dan vagina. Uretra pada perempuan hanya berfungsi sebagai saluran saluran ekskretori.

Hubungan Anatomis Ginjal

Ginjal adalah organ retroperitoneal (yaitu terletak di belakang peritoneum) terletak di dinding posterior abdomen pada setiap sisi kolom tulang belakang. Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang, berwarna merah tua. Ginjal terlindungi dengan baik oleh trauma langsung karena disebelah posterior dilindungi oleh tulang kosta dan otot-otot yang meliputi kosta, sedangkan di bagian anterior dilindungi oleh bantalan usus yang tebal. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ginjal kiri karena tertekan kebawah oleh hati.

Strutur Makroskopik Ginjal

Pada orang dewasa ginjal panjangnya 12-13 cm, lebar 6 cm, dan beratnya antara 120-150 gram. Ginjal terletak di bagian belakang abdomen. Ginjal kanan terletak lebih rendah dari ginjal kiri karena ada hepar di sisi kanan.

Ginjal berbentuk seperti biji kacang dan permukaan medialnya yang cekung disebut hilus renal yaitu tempat masuk dan keluarnya saluran seperti pembuluh darah, pembuluh getah bening, saraf dan ureter.

Bila ginjal dibelah dua, secara longitudinal (memanjang) dapat terlihat tiga bagian penting, yaitu korteks, medula dan pelvis renis. Bagian yang paling superfisial adalah korteks renal yang tempak bergranula. Sebelah dalamnya terdapat bagian lebih gelap yaitu medula ranal yang terdiri dari bangunan-bangunan berbentuk kerucut yang disebut renal piramid, dengan dasarnya menghadap korteks dan puncaknya disebut apeks atau papula renis, mengarah kebagian dalam ginjal. Satu piramid dengan jaringan korteks yang disebut lobus ginjal. Medulla terbagi menjadi baji segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusun dari segmen-segmen tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila atau apeks dari tiap piramid membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan bagian terminal dari banyak duktus pengumpul (Price,1995 : 773)

a. Renal Capsule (Fibrous Capsule)

Tiap ginjal dibungkus dalam suatu membran transparan yang berserat yang disebut renal capsule. Membran ini melindungi ginjal dari trauma dan infeksi. Renal capsule tersusun dari serat yang kuat, terutama colagen dan elastin (protein berserat), yang membantu menyokong massa ginjal dan melindungi jaringan vital dari luka. Renal capsule menerima suplai darahnya terutama dari arteri interlobar, suatu pembuluh darah yang merupakan percabangan dari renal arteri utama. Pembuluh darah ini menjalar melalui cortex ginjal dan berujung pada renal capsule. Membrane ini biasanya 2-3 milimeter tebalnya.

Renal Capsule melindungi dinding luar dan masuk melalui bagian cekung ginjal yang dikenal dengan sinus. Sinus berisi pembuluh utama yang mengangkut urin dan pembuluh arteri dan venna yang menyuplai jaringan dengan nutrisi dan oksigen. Renal capsule terhubung kepada struktur ini dalam sinus dan melapisi dinding sinus.

Pada orang yang normal, renal capsule berwarna merah muda, tembus cahaya, halus, dan mengkilat. Biasanya membran ini mudah dilepas dari jaringan ginjal. Ginjal yang terkena penyakit sering membuat ikatan serat dari jaringan utamanya kepada renal capsule, yang membuat capsule melekat lebih kuat. Sulitnya membuka capsule ini merupakan pertanda bahwa ginjal telah terkena penyakit.


b. Renal Cortex

Renal cortex merupakan lapisan terluar ginjal. Lapisan ini terletak diantara renal capsule dan Medulla. Bagian atas nephron, yaitu glomerulus dan Henle's loop berada di lapisan ini. Renal cortex adalah jaringan yang kuat yang melindungi lapisan dalam ginjal. Pada orang dewasa, renal cortex membentuk zona luar yang halus tersambung dengan projectil (kolom kortikal) yang menjulur diantara piramid. Dalam lapisan ini terdapat renal corpusle dan renal tubules kecuali untuk bagian dari Henle's loop yang turun kedalam renal medulla. Renal cortex juga mengandung pembuluh darah dan kortikal pembuluh penampung.

c. Renal Medulla (Renal Pyramids)

Renal Medulla berada dibawah Cortex. Bagian ini merupakan area yang berisi 8 sampai 18 bagian berbentuk kerucut yang disebut piramid, yang terbentuk hampir semuanya dari ikatan saluran berukuran mikroskopis. Ujung dari tiap piramid mengarah pada bagian pusat dari ginjal. Saluran ini mengangkut urin dari cortical atau bagian luar ginjal, dimana urin dihasilkan, ke calyces. Calyces merupakan suatu penampung berbentuk cangkir dimana urin terkumpul sebelum mencapai kandung kemih melalui ureter. Ruang diantara piramid diisi oleh cotex dan membentuk struktur yang disebut renal columns.


Ujung dari tiap pyramid, yang disebut papilla, menuju pada Calyces di pusat tengah ginjal. Permukaan papilla memiliki penampilan seperti saringan karena banyaknya lubang-lubang kecil tempat dimana tetesan urin lewat. Setiap lubang merupakan ujung dari sebuah saluran yang merupakan bagian dari nephron, yang dinamakan saluran Bellini; dimana semua saluran pengumpul didalam piramid mengarah. Serat otot mengarah dari calyx menuju papilla. Pada saat serat otot pada calyx berkontraksi, urin mengalir melalui saluran Bellini kedalam calyx(calyces). Urin kemudian mengalir ke kandung kemih melalui renal pelvis dan ureter.

d. Renal Pelvis

Renal Pelvis berada di tengah tiap ginjal sebagai saluran tempat urin mengalir dari ginjal ke kandung kemih. Bentuk renal pelvis adalah seperti corong yang melengkung di satu sisinya. Renal pelvis hampir seluruhnya dibungkus dalam lekukan dalam pada sisi cekung ginjal, yaitu sinus. Ujung akhir dari pelvis memiliki bentuk seperti cangkir yang disebut calyces.

Renal pelvis dilapisi oleh lapisan membran berselaput lendir yang lembab yang hanya beberapa sel tebalnya. Membran ini terkait kepada bungkus yang lebih tebal dari serat otot yang halus, yang dibungkus lagi dengan lapisan jaringan yang terhubung. Membran berselaput lendir pada pelvis ini agak berlipat sehingga terdapat ruang bagi jaringan untuk mengembang ketika urin menggelembungkan pelvis. Serat otot tertata dalam lapisan longitudinal dan melingkar. Kontraksi lapisan otot terjadi dengan gelombang yang bersifat periodik yang disebut gerak peristaltis pelvis. Gerakan ini mendorong urin dari pelvis menuju ureter dan kandung kemih. Dengan adanya pelapis pada pelvis dan ureter yang tidak dapat ditembus oleh substansi normal dalam urin, maka dinding struktur ini tidak menyerap cairan.

e. Vena Renal dan Arteri Renal


Dua dari pembuluh darah penting, vena renal dan arteri renal. Dua pembuluh ini merupakan percabangan dari aorta abdominal (bagian abdominal dari arteri utama yang berasal dari jantung) dan masuk kedalam ginjal melalui bagian cekung ginjal.

Di bagian dalam pada sisi cekung dari tiap ginjal, terdapat lubang, yang dinamakan hilum, tempat dimana arteri renal masuk. Setelah masuk melalui hilum, arteri renal terbagi menjadi dua cabang besar, dan setiap cabang terbagi menjadi beberapa arteri yang lebih kecil yang membawa darah ke nephron, unit fungsional dari ginjal. Darah yang telah diproses oleh nephron akhirnya mencapai vena renal, yang membawa darah kembali ke cava vena inferior dan ke sisi kanan jantung.

Arteri renal mengangkut 1,2 liter darah per menit ke ginjal pada manusia normal, suatu jumlah yang ekuivalen dengan sekitar seperempat dari output jantung. Dengan demikian, jumlah volume darah yang sama dengan darah dalam tubuh manusia normal dewasa, diproses dalam ginjal sebanyak satu dalam setiap empat atau lima menit. Meskipun beberapa kondisi fisik dapat menghambat aliran darah, terdapat mekanisme pengatur-mandiri tertentu yang terdapat pada arteri ginjal yang memungkinkan suatu adaptasi terhadap keadaan yang berbeda.

Ketika tekanan darah tubuh naik atau turun, sensor penerima dari sistem saraf yang terletak dalam otot halus dinding arteri terpengaruh oleh perbedaan tekanan, dan, untuk menghilangkan kenaikan atau penurunan tekanan darah, arteri dapat melebar atau menyempit untuk menjaga jumlah volume aliran darah

Suplai Pembuluh Darah Makroskopik Ginjal

darah yang berasal dari aorta abdominalis di alirkan ke arteri renalis. Pada saat masuk ke hilus ginjal. Arteri renalis bercabang ke areteria interlokaris dan mengalirkan ke arteria akuata. Kemudian arteria akuata melintasu pyramid-piramid kemudian membentuk arteriola interlobularis yang tersusun parallel dalam korteks. Lalu darah mengalir ke arteriola aferen dan berkahir pada rumbai-rumbai kapiler disebut glomeroulus. Glomerolus membenteuk arteriola eferen kemudian bercabang membentuk system portal kapiler mengelilingi tubulus disebut dengan kapiler peritubular. Lalu mengalir ke jalinan vena à vena interlobularis à vena arkuata à vena interlobaris à vena renalis à vena cava inferior.

autoregulasi adalah respons instrinsik otot polos vascular terhadapa perubahan tekanan darah. Sel-sel otot polos arteriol aferen dan eferen berespons terhadap peregangan dengan konstriksi refleks.

Apabila tekanan darah sistemik meningkat maka peregangan pada arteriol berkonstriksi sehingga aliran darah berkurang dan tekanan darah ginjal kembali ke normal. Dengan adanya autoregulasi, aliran darah ginjal menetap relative konstan dengan kisaran antara 80mmHg dan 180mmHg.

Struktur Mikroskopik Ginjal

  1. Nefron


Nefron adalah unit fungsional ginjal. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar 2-2,4 juta nefron.Setiap nefron terdiri dari komponen vaskuler dan tuberkuler. Komponen vaskuler terdiri atas pembuluh-pembuluh darah yaitu glomerulus dan kapiler pestibular, yang mengitari tubuli. Komponen tubular berawal dengan kapsula bowmen (glomerular) dan mencakup tubuli kontortus proksimal, ansa henle dan tubuli kontortus distal. Dari tubuli distal, isinya disalurkan ke dalam duktus koligens (saluran penampung atau pengumpul).

Struktur Nefron

1). Glomerulus

Glomerulus terdiri atas suatu anyaman kapiler yang sangat khusus dan diliputi oleh simpai Bowman. Glomerulus yang terdapat dekat pada perbatasan korteks dan medula (“juxtame-dullary”) lebih besar dari yang terletak perifer. Percabangan kapiler berasal dari arteriola afferens, membentuk lobul-lobul, yang dalam keadaan normal tidak nyata , dan kemudian berpadu lagi menjadi arteriola efferens. Tempat masuk dan keluarnya kedua arteriola itu disebut kutub vaskuler. Di seberangnya terdapat kutub tubuler, yaitu permulaan tubulus contortus proximalis. Gelung glomerulus yang terdiri atas anyaman kapiler tersebut, ditunjang oleh jaringan yang disebut mesangium, yang terdi ri atas matriks dan sel mesangial. Kapiler-kapiler dalam keadaan normal tampak paten dan lebar. Di sebelah dalam daripada kapiler terdapat sel endotel, yang mempunyai sitoplasma yang berfenestrasi. Di sebelah luar kapiler terdapat sel epitel viseral, yang terletak di atas membran basalis dengan tonjolan-tonjolan sitoplasma, yang disebut sebagai pedunculae atau “foot processes”. Maka itu sel epitel viseral juga dikenal sebagai podosit. Antara sel endotel dan podosit terdapat membrana basalis glomeruler (GBM = glomerular basement membrane). Membrana basalis ini tidak mengelilingi seluruh lumen kapiler. Dengan mikroskop elektron ternyata bahwa membrana basalis ini terdiri atas tiga lapisan, yaitu dari arah dalam ke luar ialah lamina rara interna, lamina densa dan lamina rara externa. Simpai Bowman di sebelah dalam berlapiskan sel epitel parietal yang gepeng, yang terletak pada membrana basalis simpai Bowman. Membrana basalis ini berlanjut dengan membrana basalis glomeruler pada kutub vaskuler, dan dengan membrana basalis tubuler pada kutub tubuler . Dalam keadaan patologik, sel epitel parietal kadang-kadang berproliferasi membentuk bulan sabit (” crescent”). Bulan sabit bisa segmental atau sirkumferensial, dan bisa seluler, fibroseluler atau fibrosa. 5

Populasi glomerulus ada 2 macam yaitu :

  1. glomerulus korteks yang mempunyai ansa henle yang pendek berada dibagian luar korteks.
  2. glomerulus jukstamedular yang mempunayi ansa henle yang panjang sampai ke bagian dalam medula. Glomerulus semacam ini berada di perbatasan korteks dan medula dan merupakan 20% populasi nefron tetapi sangat penting untuk reabsoprsi air dan slut. 1


Gambar 3. Bagian-bagian nefron 6

Jalinan glomerulus merupakan kapiler-kapiler khusus yang berfungsi sebagai penyaring. Kapiler glomerulus dibatasi oleh sel-sel endotel, mempunyai sitoplasma yang sangat tipis, yang mengandung banyak lubang disebut fenestra dengan diameter 500-1000 A. Membran basal glomerulus membentuk suatu lapisan yang berkesinambungan, antara sel endotel dengan mesangial pada satu sisi dan sel epitel disisi lain.1,2

Membran tersebut mempunyai 3 lapisan yaitu :

1. Lamina dense yang padat (ditengah)

2. Lamnina rara interna, yang terletak diantara lamina densa dan sel endotel

3. Lamina rara eksterna, yang terletak diantara lamina densa dan sel epitel 1

Sel-sel epitel kapsula bowman viseral menutupi kapiler dan membentuk tonjolan sitoplasma foot process yang berhubungan dengan lamina rara eksterna. Diantara tonjolan-tonjolan tersebut adalah celah-celah filtrasi dan disebut silt pore dengan lebar 200-300 A. Pori-pori tersebut ditutupi oleh suatu membran disebut slit diaphgrma. Mesangium (sel-sel mesangial dan matrik) terletak dianatara kapiler-kapiler gromerulus dan membentuk bagian medial dinding kapiler. Mesangium berfungsi sebagai pendukung kapiler glomerulus dan mungkin bereran dalam pembuangan makromolekul (seperti komplek imun) pada glomerulus, baik melalui fagositosis intraseluler maupun dengan transpor melalui saluran-saluran intraseluler ke regio jukstaglomerular.1

Gambar 4. Kapiler gomerulus normal

Tidak ada protein plasma yang lebih besar dari albumin pada filtrat gromerulus menyatakan efektivitas dari dinding kapiler glomerulus sebagai suatu barier filtrasi. Sel endotel,membran basal dan sel epitel dinding kapiler glomerulus memiliki kandungan ion negatif yang kuat. Muatan anion ini adalahhasil dari 2 muatan negatif :proteoglikan (heparan-sulfat) dan glikoprotein yang mengandung asam sialat. Protein dalam daragh relatif memiliki isoelektrik yang rendah dan membawa muatan negatif murni. Karena itu, mereka ditolak oleh dinding kapiler gromerulus yang muatannnya negatif, sehingga membatasi filtrasi.1


2) Henle's Loop



Loop Henle merupakan bagian dari tubulus renal yang kemudian menjadi sangat sempit yang menjulur jauh kebawah kapsul Bowman dan kemudian naik lagi keatas membentuk huruf U. Di sekeliling Loop Henle dan bagian lain tubulus renal terdapat jaringan kapiler, yang terbentuk dari pembuluh darah kecil yang bercabang dari glomerulus.

Cairan yang masuk kedalam loop merupakan larutan yang terdiri dari garam, urea, dan zat lain yang berasal dari glomerulus melalui proximal convoluted tubule. Pada tubulus ini, sebagian besar komponen terlarut yang dibutuhkan tubuh, terutama glukosa, asam amino, dan sodium bikarbonat, diserap kembali kedalam darah. Bagian pertama dari loop, yaitu cabang yang menurun, bersifat dapat ditembus oleh air, dan cairan yang mencapai lekukan dari loop ini jauh lebih banyak mengandung garam dan urea dibandingkan dengan plasma darah.

Pada saat cairan mengalir naik kembali melalui pembuluh naik, sodium klorida dikeluarkan dari pembuluh ke jaringan sekelilingnya, dimana konsentrasinya lebih rendah. Pada bagian ketiga dari loop ini, dinding pembuluhnya apabila diperlukan dapat membuang, bahkan dalam keadaan berlawanan dengan gradien konsentratnya, dalam proses aktif yang memerlukan lebih banyak energi. Pada tubuh orang normal, penyerapan kembali garam dari urin hanya dilakukan dalam keadaan konsumsi garam yang rendah. Namun pada saat garam dalam darah tinggi, kelebihan garam ini dibuang.


3) Renal Collecting Tubule(Tubulus Pengumpul)

Disebut juga Pembuluh Bellini, suatu pembuluh kecil sempit yang panjang dalam ginjal yang mengumpulkan dan mengangkut urin dari nefron, menuju pembuluh yang lebih besar yang terhubunng dengan calyses ginjal. Cairan yang berasal dari loop Henle masuk kedalam Distal Convoluted Tubule (Tubulus Konvolusi Distal) dimana penyerapan kembali sodium berlanjut sepanjang seluruh tubulus distal. Penyerapan kembali ini tetap terjadi hingga bagian awal dari Tubulus pengumpul ginjal.

Setiap tubulus pengumpul memiliki panjang sekitar 20-22 mm dan berdiameter 20-50 micron. Dinding dari tubulus tersusun dari sel dengan proyeksi seperti rambut, lentur seperti cambuk, dalam pembuluh ini. Gerakan dari sel cambuk ini membantu gerakan sekresi sepanjang pembuluh. Pada saat tubulus pengumpul menjadi lebih lebar diameternya, tinggi sel ini meningkat sehingga dinding menjadi lebih tebal.

Fungsi dari tubulus pengumpul adalah pengangkutan urin dan penyerapan air. Telah diketahui bahwa jaringan dari medula ginjal atau bagian dalamnya, mengandung konsentrasi sodium yang tinggi. Ketika tubulus pengumpul ini berada pada medula, konsentrasi sodium menyebabkan dikeluarkannya air dari seluruh dinding tubulus keluar ke medulla. Air bercampur diluar diantara sel-sel dinding tubulus sampai konsentrasi sodium seimbang antara didalam tubulus dan diluarnya. Pembuangan air dari larutan dalam tubulus membuat urin menjadi lebih kental dan menghemat badan air dalam tubuh.

2. FISIOLOGI GINJAL

Fungsi Ginjal :

1. Menyaring dan membersihkan darah dari zat-zat sisa metabolisme tubuh

2. Mengeksresikan zat yang jumlahnya berlebihan

3. Reabsorbsi (penyerapan kembali) elektrolit tertentu yang dilakukan oleh bagian tubulus ginjal

4. Menjaga keseimbanganan asam basa dalam tubuh

5. Menghasilkan zat hormon yang berperan membentuk dan mematangkan sel-sel darah merah (SDM) di sumsum tulang

6. Homeostasis Ginjal, mengatur pH, konsentrasi ion mineral, dan komposisi air dalam darah (Guyton, 1996 ).

A. Pembentukan urin

1. Proses Filtrasi di Glomerulus

Filtrasi Glomerulus

Darah yang masuk ke dalam nefron melalui arteriol aferen dan selanjutnya menuju glomerulus akan mengalami filtrasi, tekanan darah pada arteriol aferen relatif cukup tinggi sedangkan pada arteriol eferen relatif lebih rendah, sehingga keadaan ini menimbulkan filtrasi pada glomerulus. Cairan filtrasi dari glomerulus akan masuk menuju tubulus, dari tubulus masuk kedalam ansa henle, tubulus distal, duktus koligentes, pelvis ginjal, ureter, vesica urinaria, dan akhirnya keluar berupa urine. Membran glomerulus mempunyai ciri khas yang berbeda dengan lapisan pembuluh darah lain, yaitu terdiri dari: lapisan endotel kapiler, membrane basalis, lapisan epitel yang melapisi permukaan capsula bowman. Permiabilitas membarana glomerulus 100-1000 kali lebih permiabel dibandingkan dengan permiabilitas kapiler pada jaringan lain.

Gambar 1.2 Membran Glomerulus


Laju filtrasi glomerulus (GFR= Glomerulus Filtration Rate) dapat diukur dengan menggunakan zat-zat yang dapat difiltrasi glomerulus, akan tetapi tidak disekresi maupu direabsorpsi oleh tubulus. Kemudian jumlah zat yang terdapat dalam urin diukur persatuan waktu dan dibandingkan dengan jumlah zat yang terdapat dalam cairan plasma.1.2.1Pengaturan GFR (Glomerulus Filtration Rate)Rata-rata GFR normal pada laki-laki sekitar 125 ml/menit. GFR pada wnita lebih rendah dibandingkan pada pria. Factor-faktor yang mempengaruhi besarnya GFR antara lain ukuran anyaman kapiler, permiabilitas kapiler, tekanan hidrostatik, dan tekanan osmotik yang terdapat di dalam atau diluar lumen kapiler. Proses terjadinya filtrasi tersebut dipengaruhi oleh adanya berbagai tekanan sebagai berikut:a.Tekanan kapiler pada glomerulus 50 mm HGb.Tekanan pada capsula bowman 10 mmHG c.Tekanan osmotic koloid plasma 25 mmHG

Ketiga factor diatas berperan penting dalam laju peningkatan filtrasi. Semakin tinggi tekanan kapiler pada glomerulus semakin meningkat filtrasi dan sebaliknya semakin tinggi tekanan pada capsula bowman. serta tekanan osmotic koloid plasma akan menyebabkan semakin rendahnya filtrasi yang terjadi pada glomerulus.

Komposisi Filtrat GlomerulusDalam cairan filtrate tidak ditemukan erytrocit, sedikit mengandung protein (1/200 protein plasma). Jumlah elektrolit dan zat-zat terlarut lainya sama dengan yang terdapat dalam cairan interstitisl pada umunya. Dengan demikian komposisi cairan filtrate glomerulus hampir sama dengan plasma kecuali jumlah protein yang terlarut. Sekitar 99% cairan filtrate tersebut direabsorpsi kembali ke dalam tubulus ginjal.1.2.3Faktor-faktor yang mempengaruhi laju filtrasi glomerulusFaktor-faktor yang mempengaruhi laju filtrasi glomerulus sebagai berikut:

a. Tekanan glomerulus: semakin tinggi tekanan glomerulus semakin tinggi laju filtrasi, semakin tinggi tekanan osmotic koloid plasmasemakin menurun laju filtrasi, dan semakin tinggi tekanan capsula bowman semakin menurun laju filtrasi.

b. Aliran dara ginjal: semakin cepat aliran daran ke glomerulussemakin meningkat laju filtrasi.

c. Perubahan arteriol aferen: apabial terjadi vasokontriksi arteriol aferen akan menyebabakan aliran darah ke glomerulus menurun. Keadaan ini akan menyebabakan laju filtrasi glomerulus menurun begitupun sebaliknya.

d. Perubahan arteriol efferent: pada kedaan vasokontriksi arteriol eferen akan terjadi peningkatan laju filtrasi glomerulus begitupun sebaliknya.

e. Pengaruh perangsangan simpatis, rangsangan simpatis ringan dan sedang akan menyebabkan vasokontriksi arteriol aferen sehingga menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus.

f. Perubahan tekanan arteri, peningkatan tekanan arteri melalui autoregulasi akan menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah arteriol aferen sehinnga menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus.

2. Reabsorpsi Dan Sekresi Dalam Tubulus

Hampir 99% dari cairan filtrate direabsorpsi kembali bersama zat-zat yang terlarut didalam cairan filtrate tersebut. Akan tetapi tidak semua zat-zat yang terlarut dapat direabsorpsi dengan sempurna, antara lain glukosa dan asam amino. Mekanisme terjadinya reabsorpsi pada tubulus melalui dua cara yaitu: a.Transfort aktifZat-zat yang mengalami transfort aktif pada tubulus proksimal yaitu ion Na+, K+, PO4-,NO3-, glukosa dan asam amino. Terjadinya difusi ion-ion khususnya ion Na+, melalui sel tubulus kedalam pembuluh kapiler peritubuler disebabkan perbedaan ptensial listrik didalam ep-itel tubulus (-70mvolt) dan diluar sel (-3m volt). Perbedaan electrochemical gradient ini membentu terjadinya proses difusi. Selain itu perbedaan konsentrasi ion Na+ didalam dan diluar sel tubulus membantu meningkatkan proses difusi tersebut. Meningkatnya difusi natrium diesbabkan permiabilitas sel tubuler terhadap ion natrium relative tinggi. Keadaan ini dimungkinkan karena terdapat banyak mikrovilli yang memperluas permukaan tubulus. Proses ini memerlukan energi dan dapat berlangsung terus-menerus.b. Transfor pasifTerjadinya transport pasif ditentukan oleh jumlah konsentrasi air yang ada pada lumen tubulus, permiabilitas membrane tubulus terhadap zat yang terlarut dalam cairan filtrate dan perbedaan muatan listrikpada dinding sel tubulus. Zat yang mengalami transfor pasif, misalnya ureum, sedangkan air keluar dari lumen tubulusmelalui prosese osmosis. Perbedan potensial listrik didalam lumen tubulus dibandingkan diluar lumen tubulus menyebabkan terjadinya proses dipusi ion Na+ dari lumen tubulus kedalam sel epitel tubulus dan selanjutnya menuju kedalam sel peritubulus. Bersamaan dengan perpindahan ion Na+ diikuti pula terbawanya ion Cl-, HCO3- kedalam kapiler peritubuler. Kecepatan reabsorsi ini ditentukan pula oleh perbedaan potensial listrik yang terdapat didalam dan diluar lumen tubulus. Untuk menjelaska proses diatas dapat dilihat pada gambar 1.3 dibawah ini:

Gambar 1.3 Proses Reabsorpsi Dan Sekresi Pada Tubulus


Sedangkan sekresi tubulus melalui proses: sekresi aktif dan sekresi pasif. Sekresi aktif merupakan kebalikan dari transpor aktif. Dalam proses ini terjadi sekresi dari kapiler peritubuler kelumen tubulus. Sedangkan sekresi pasif melalui proses difusi. Ion NH3- yang disintesa dalam sel tubulus selanjutnya masuk kedalam lumen tubulus melalui proses difusi. Dengan masuknya ion NH3- kedalam lumen tubulus akan membantu mengatur tingkat keasaman cairan tubulus. Kemampuan reabsorpsi dan sekresi zat-zat dalam berbagai segmen tubulus berbeda-beda.

3. Augmentasi

Augmentasi adalah proses penambahan zat sisa dan urea yang mulai terjadi di tubulus kontortus distal. Komposisi urin yang dikeluarkan lewat ureter adalah 96% air, 1,5% garam, 2,5% urea, dan sisa substansi lain, misalnya pigmen empedu yang berfungsi memberi warm dan bau pada urin. Zat sisa metabolisme adalah hasil pembongkaran zat makanan yang bermolekul kompleks. Zat sisa ini sudah tidak berguna lagi bagi tubuh. Sisa metabolisme antara lain, CO2, H20, NHS, zat warna empedu, dan asam urat (Cuningham, 2002).

Karbon dioksida dan air merupakan sisa oksidasi atau sisa pembakaran zat makanan yang berasal dari karbohidrat, lemak dan protein. Kedua senyawa tersebut tidak berbahaya bila kadarnya tidak berlebihan. Walaupun CO2 berupa zat sisa namun sebagian masih dapat dipakai sebagai dapar (penjaga kestabilan PH) dalam darah. Demikian juga H2O dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan, misalnya sebagai pelarut (Sherwood.2001).

Amonia (NH3), hasil pembongkaran/pemecahan protein, merupakan zat yang beracun bagi sel. Oleh karena itu, zat ini harus dikeluarkan dari tubuh. Namun demikian, jika untuk sementara disimpan dalam tubuh zat tersebut akan dirombak menjadi zat yang kurang beracun, yaitu dalam bentuk urea. Zat warna empedu adalah sisa hasil perombakan sel darah merah yang dilaksanakan oleh hati dan disimpan pada kantong empedu. Zat inilah yang akan dioksidasi jadi urobilinogen yang berguna memberi warna pada tinja dan urin.Asam urat merupakan sisa metabolisme yang mengandung nitrogen (sama dengan amonia) dan mempunyai daya racun lebih rendah dibandingkan amonia, karena daya larutnya di dalam air rendah (Sherwood.2001).

Refleks Berkemih

Selam kandung kemih terisi, banyak yang menyertai kontraksi berkemih mulai tampak seperti yang diperlihatkan oleh gelombang tajan dengan garis putus-putus. Keadaan ini disebabkan oleh reflek peregangan yang dimulai oleh resertor regang sensorik pada dinding kandung kemih. Khususnya oleh reseptor pada uretra posterior, ketika daerah ini terisi urine pada tekanan kandung kemih yang lebih tinggi. Sinyal sensori dari reseptor regangan kandung kemih dihantarkan ke segment sakral medula spinalis melalui nervus pelvikus ddan kemudian secara reflek kembali kandung kemih melalui sistem saraf parasimpatis melalui saraf yang sama.

Ketika kadung kemih hanya terisi sebagian, kontraksi berkemih ini biasanya secara spontan berelaksasi setelah beberapa detik, otot detruson berhenti berkontraksi dan tekanan turun kembali ke garis basal karena kandung kemih menjadi bertambah sering dan menyebabkan kontraksi otot detrusos lebih kuat.

Sekali refleks berkemih mulai timbul, reflek ini akan “menghilang sendiri”. Artinya kontraksi awal kandung kemih selanjutnya akan mengaktifkan reseptor regangan untuk menyebabkan peningkatan selanjutnya pada impuls sensorik ke kandung kemih dan uretra posterior, yang menimbulkan peningkatan reflek kontraksi kandung kemih lebih lanjut; jadi, siklus ini berulang dan berulang lagi sampai kandung kemih mencapai kontraksi yang kuat. Kemudian, setelah beberapa detik sampai lebih dari semenit, reflek yang menghilang sendiri ini mulai melemah dan siklus regeneratif dari refleks miksi itu berhenti, menyebabkan kandung kemih berelaksasi.

Jadi, rekleks berkemih adalah suatu siklus tunggal lengkap dari (1) peningkatan tekanan yang cepat dan progresif, (2) periode tekanan dipertahankan, dan (3) kembalinya tekanan ke tonus basal kandung kemih.

Sekali refleks berkemih terjadi tetapi tidak berhasil mengosongkan kandung kemih, elemen saraf dari reflek ini biasanya tetap dalam keadaan terinhibisi selama beberapa menit sampai satu jam atau lebih sebelum refleks berkemih lainnya terjadi. Karena kandung kemih menjadi semakin terisi, refleks berkemih menjadi semakin sering dan semakin kuat.

Sekali refleks berkemih menjadi cukup kuat, hal ini juga menimbulkan refleks lain, yang berjalan melalui nervus pudendalke sfingter eksternus untuk menghambatnya. Jika inhibisi ini lebih kuat dalam otak dari pada sinyal konstriktor volunter ke sfingter eksterna, berkemihpun akan terjadi. Jika tidak, bekemih tidak akan terjadi sampai kandung kemuh menjadi kuat.

Perangsangan atau penghambatan bekemih oleh otak

Refleks berkemih adalah refleks medula spinalis yang seluruhnya bersifat autonomi, tetapi dapat dihambat atau dirangsang oleh pusat dalam otak. Pusat-pusat ini antara lain (1) pusat perangsang dan penghamabt kuat dalam batang otak, terutama terletak di pons, dan (2) beberapa pusat yang terletak di korteks serebral yang terutama bekerja sebagai penghambat tetapidpt menjadi perangsang.

Refleks berkemih merupakan dasar penyakit penyebab terjadinya berkemih, tetapi pusat yang lebih tinggi normalnya memegang peranan sebagai pengendali akhir dari berkemih sebagai berikut :

1. Pusat yang lebih tinggi menjaga secara parsial pengamatan refleks berkemih kecuali jika peristiwa berkemih yang dikehendaki.

2. Pusat yang lebih tinggi dapat mencegah berkemih, bahkan jika refleks berkemih timbul, dengan membuat kontraksi tonik terus menurus pada sfingter eksternus kandung kemih sampai mendapatkan waktu yang tepat untuk berkemih.

3. Jika tiba waktu untuk berkemih, pusat kortikal dapat merangsang pucat bermih sakral untuk membantu mencetuskan refleks berkemih dan dalam waktu bersamaan menghambat sfingter eksternus kandung kemih sehingga peristiwa berkemih dapat terjadi.

Berkemih di bawah keinginan biasanya tercetus dengan cara derikut: Pertama, seseorang secara sadar mengkontraksikan otot-otot abdomennya, yang meningkatkan tekanan dalam kandung kemih dan mengakibatkan urine ekstra memasuki leher kandung kemih dan uretra posterior di bawah tekanan, sehingga meregangkan dindingnya. Hal ini menstimulasi reseptor regang, yang merangsang refleks berkemih dan menghambat sfingter eksternus uretra secara simultan. Biasanya, seluruh urine akan keluar, terkadang lebih dari 5 sampai 10 mililiter urine tertinggal di kandung kemih.

Bagan Refleks Berkemih

Kandung kemih terisi

Terjadi rangsangan pada reseptor

regang sensoris pada dinding kandung kemih

terutama pada reseptor uretra poaterior

Rangsangan diteruskan oleh nervus pelvikus

Segmen sakral medula spinalis

Serat saraf parasimpatis

Rangsangan kembali ke kandung kemih

Kontraksi berkemih

Refleks berkemih

Refleks berkemih

Menimbulkan refleks lain melalui nervus pudendal

ke sfingter eksternus

Jika inhibisi jauh lebih kuat dalam otak

dari pada sinyal konstriktor volunter ke sfingter eksternus

Berkemih pun terjadi

Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Urine

Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Urine adalah :

· Hormon

ADH
Hormon ini memiliki peran dalam meningkatkan reabsorpsi air sehingga dapat mengendalikan keseimbangan air dalam tubuh. Hormon ini dibentuk oleh hipotalamus yang ada di hipofisis posterior yang mensekresi ADH dengan meningkatkan osmolaritas dan menurunkan cairan ekstrasel ( Frandson,2003 )

Aldosteron

Hormon ini berfungsi pada absorbsi natrium yang disekresi oleh kelenjar adrenal di tubulus ginjal. Proses pengeluaran aldosteron ini diatur oleh adanya perubahan konsentrasi kalium, natrium, dan sistem angiotensin rennin ( Frandson, 2003)

Prostaglandin

Prostagladin merupakan asam lemak yang ada pada jaringan yang berlungsi merespons radang, pengendalian tekanan darah, kontraksi uterus, dan pengaturan pergerakan gastrointestinal. Pada ginjal, asam lemak ini berperan dalam mengatur sirkulasi ginjal ( Frandson, 2003)

Gukokortikoid

Hormon ini berfungsi mengatur peningkatan reabsorpsi natrium dan air yang menyebabkan volume darah meningkat sehingga terjadi retensi natrium ( Frandson, 2003)

Renin

Selain itu ginjal menghasilkan Renin; yang dihasilkan oleh sel-sel apparatus jukstaglomerularis pada :

1. Konstriksi arteria renalis ( iskhemia ginjal )

2. Terdapat perdarahan ( iskhemia ginjal )

3. Uncapsulated ren (ginjal dibungkus dengan karet atau sutra )

4. Innervasi ginjal dihilangkan

5. Transplantasi ginjal ( iskhemia ginjal )

Sel aparatus juxtaglomerularis merupakan regangan yang apabila regangannya turun akan mengeluarkan renin. Renin mengakibatkan hipertensi ginjal, sebab renin mengakibatkan aktifnya angiotensinogen menjadi angiotensin I, yg oleh enzim lain diubah menjadi angiotensin II; dan ini efeknya menaikkan tekanan darah (sherwood, 2001).


· Zat - zat diuretik

Banyak terdapat pada kopi, teh, alkohol. Akibatnya jika banyak mengkonsumsi zat diuretik ini maka akan menghambat proses reabsorpsi, sehingga volume urin bertambah.

· Suhu internal atau eksternal

Jika suhu naik di atas normal, maka kecepatan respirasi meningkat dan mengurangi volume urin.

· Konsentrasi Darah

Jika kita tidak minum air seharian, maka konsentrasi air dalam darah rendah.Reabsorpsi air di ginjal mengingkat, volume urin menurun.

· Emosi

Emosi tertentu dapat merangsang peningkatan dan penurunan volume urin.

Kandungan Urin Normal

Urin mengandung sekitar 95% air. Komposisi lain dalam urin normal adalah bagian padaat yang terkandung didalam air. Ini dapat dibedakan beradasarkan ukuran ataupun kelektrolitanya, diantaranya adalah :

Molekul Organik : Memiliki sifat non elektrolit dimana memiliki ukaran yang reativ besar, didalam urin terkandung : Urea CON2H4 atau (NH2)2CO, Kreatin, Asam Urat C5H4N4O3, Dan subtansi lainya seperti hormon (Guyton, 1996)

Ion : Sodium (Na+), Potassium (K+), Chloride (Cl-), Magnesium (Mg2+, Calcium (Ca2+). Dalam Jumlah Kecil : Ammonium (NH4+), Sulphates (SO42-), Phosphates (H2PO4-, HPO42-, PO43-), (Guyton, 1996)

Warna : Normal urine berwarna kekuning-kuningan. Obat-obatan dapat mengubah warna urine seperti orange gelap. Warna urine merah, kuning, coklat merupakan indikasi adanya penyakit ( Anonim, 2008 ).

Bau : Normal urine berbau aromatik yang memusingkan. Bau yang merupakan indikasi adanya masalah seperti infeksi atau mencerna obat-obatan tertentu ( Anonim, 2008 ).

Berat jenis : Adalah berat atau derajat konsentrasi bahan (zat) dibandingkan dengan suatu volume yang sama dari yang lain seperti air yang disuling sebagai standar. Berat jenis air suling adalah 1, 009 ml. Normal berat jenis : 1010 - 1025 ( Anonim, 2008 ).

Kejernihan : Normal urine terang dan transparan. Urine dapat menjadi keruh karena ada mukus atau pus ( Anonim, 2008 ).

pH : Normal pH urine sedikit asam (4,5 - 7,5). Urine yang telah melewati temperatur ruangan untuk beberapa jam dapat menjadi alkali karena aktifitas bakteri. Vegetarian urinennya sedikit alkali ( Anonim, 2008 ).

Readmore »