--Sang Budha dalam Al-Qur'an--
Tidak ada kata-kata “Buddha” dalam Al Quran, namun para sejarawan dan peneliti mengaitkan beberapa ayat Al-Quran dengan Sang Buddha.
Demi (pohon) Tin (fig) dan (buah) Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (Mekah) ini yang aman, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya. Maka apakah yang menyebabkan kamu mendustakan (hari) pembalasan sesudah (adanya keterangan-keterangan) itu? Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya?
(Quran Surat at-Tin (95) : 1)
Buah Zaitun melambangkan Yerusalem, Yesus dan Kristianitas. Bukit Sinai melambangkan Musa dan Yudaisme. Kota Mekah menyimbolkan Islam dan Muhammad. Lantas pohon Tin (fig) melambangkan apa?
Tin = fig = Pohon Bodhi.
Pohon Bodhi adalah tempat Sang Buddha mencapai Penerangan Sempurna.
Ada penafsir-penafsir zaman sekarang sebagaimana disebutkan oleh al-Qasimi di dalam tafsirnya berpendapat bahwa sumpah Allah dengan buah tin yang dimaksud ialah pohon Bodhi. Prof. Hamidullah juga mengatakan bahwa perumpamaan pohon (buah) tin (fig) di dalam Quran ini merepresentasikan Sang Buddha, sehingga menunjukkan bahwa Sang Buddha diakui sebagai nabi di dalam agama Islam.
Hamid Abdul Qadir, sejarawan abad 20 mengatakan dalam bukunya :
“Buddha Yang Agung: Riwayat dan Ajarannya” (Arabic: Budha al-Akbar Hayatoh wa Falsaftoh), bahwa Sang Buddha adalah nabi Dhul Kifl, yang berarti “ia yang berasal dari Kifl”. Nabi Dhul Kifl disebutkan 2 kali dalam Quran:
Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli (Dhul Kifl). Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar.
QS. al-Anbiya (21) : 85
Dan ingatlah akan Ismail, Ilyasa, dan Dzulkifli (Dhul Kifl). Semuanya termasuk orang-orang yang paling baik
QS. Shad (38) : 48
“Kifl” adalah terjemahan Arab dari Kapilavastu, tempat kelahiran Sang Bodhisattva.
Mawlana Abul Azad, teolog Muslim abad 20 juga menekankan bahwa Dhul Kifl dalam Al Quran bisa saja adalah Buddha.
Pandangan para tokoh Muslim pada Sang Buddha dan Teks-teks Buddhis di Dunia Muslim
Sejarawan Muslim yang terkenal, Abu Rayhan Al-Biruni (973–1048) yang pergi ke India dan menetap di sana selama 13 tahun untuk mengenal bangsa India dan mempelajari teks-teks Sansekerta mendefinisikan Sang Buddha sebagai seorang nabi. Pada waktu dinasti Ghaznavid, sejarawan Persia Al Biruni menemani Mahmud dari Ghazni pada abad 11 M di mana Mahmud menyerang India. Dalam buku Sejarah India (Kitab al-Hind) yang ditulisnya, Al Biruni memuji Sang Buddha dan ajarannya. Al Biruni juga menulis sebuah teks yang berkisah tentang ukiran Buddha di Bamiyan.
Ibn al-Nadim (995 M), penulis kitab Al-Fihrist, berkata:
Orang-orang ini (Buddhis di Khurasan) adalah yang paling dermawan di antara seluruh penghuni bumi dan semua kaum agama. Ini dikarenakan nabi mereka, Budhasaf (Bodhisattva) telah mengajarkan pada mereka bahwa dosa yang terbesar, di mana tidak diperbolehkan untuk berpikir atau melakukan, adalah perkataan “tidak”. Maka dari itu mereka bertindak sesuai anjuran-Nya dan mereka menmganggap perkataan “tidak” sebagai tindakan Satan. Inti ajaran agama mereka (Buddha) adalah untuk membasmi Satan.
Sejarawan Muslim bernama Abu Ja`far Muhammad ibn Jarir al-Tabari (839-923 M), menyebutkan bahwa rupang-rupang Buddha dibawa dari Kabul, Afghanistan ke Baghdad pada abad ke-9 M. Juga dilaporkan bahwa rupang-rupang Buddha dijual di sebuah vihara Buddhis dekat masjid Makh di pasar kota Bukhara (Uzbekistan).
Pada abad ke-9 M, seorang dari Baghdad menterjemahkan kisah Sang Buddha ke dalam bahasa Arab yaitu dalam Kitab al Budasaf wa Balawhar yaitu “Buku Bodhisattva dan (gurunya) Balawhar” yang ditulis Aban Al-Lahiki (750-815 M) di Baghdad. Teks ini kemudian diterjemahkan lagi dalam bahasa Yunani dan Georgia, terkena pengaruh Kristiani dan akhirnya menjadi Kisah St. Barlaam dan Josaphat.
Catatan sejarah Muslim tentang agama Buddha dapat ditemukan di Kitab al-Milal wa Nihal yang berarti “The Book of Confessions and Creeds” yang ditulis oleh Muhammad al-Shahrastani (1076–1153 M) di Baghdad pada masa Dinasti Seljuk. Kitab sejarah yang ditulis oleh Al-Shahrastani tersebut adalah kitab yang paling akurat dalam dunia pendidikan Muslim ketika menjelaskan agama Buddha di India. Al-Shahrastani menjelaskan agama Buddha sebagai agama “pencarian kebenaran dengan kesabaran, memberi dan ketidakmelekatan” yang “dekat dengan ajaran Sufi (mistisisme Islam)”
Al-Shahrastani memperbandingkan Sang Buddha dengan Al Khidr (Eliyah), tokoh dalam Al-Quran, sebagai dua orang yang sama-sama mencari pencerahan. Al-Shahrastani juga memperbadningkan Buddha dengan Bodhisattva (Budhasf). Ia memberikan catatan yang mendeskripsikan penampilan dari para Buddhis (asahb al bidada) di India dan memberikan perhatian yang lebih tentang agama Buddah di India beserta ajaran-ajarannya.
Di dalam dunia Arab, juga muncul kitab riwayat Buddha yang bernama Kitab Al-Budd. Kitab Al-Budd ini didasarkan atas kitab Jatakamala dan Buddhacarita.
Pada abad ke-8 M, Caliph al-Mahdi, dan Caliph al-Rashid mengundang para pelajar Buddhis dari India dan Nava Vihara di Balkh ke “Rumah pengetahuan” (Bayt al-Hikmat) di Baghdad. Ia memerinathkan para pelajar Buddhis untuk membantu penerjemahan teks-tkes pengobatan dan astronomi dari Sansakerta ke bahasa Arab. Ibn al-Nadim pada abad ke 10 M, Buku Katalog (Kitab al-Fihrist), juga memberikan daftar teks-teks Buddhis yang diterjemahkan dan ditulis dalam bahasa Arab pada masa itu, seperti Kitab Al-Budd (Buku Sang Buddha).
Keluarga Barmakid mempunyai pengaruh di istana Abbasid sampai pada pemerintahan Caliph Abbasid yang keempat, Harun al-Rashid (r. 786-809 M) dan perdana menterinya yaitu Yahya ibn Barmak adalah cucu Muslim dari salah satu kepala administrator Buddhis dari Nava Vihara di Balkh, Afghanistan. Yahya mengundang para pelajar Buddhis, terutama dari Kashmir untuk datang ke “Rumah pengetahuan” di Baghdad. Tidak ada kitab-kitab ajaran Buddha yang diterjemahkan dari Sansekerta ke bahasa Arab. Namun lebih fokus terhadap penterjemahan teks-teks pengobatan Buddhis seperti Siddhasara yang ditulis Ravigupta.
Penulis Umayyad Arab yang bernama Umar ibn al-Azraq al-Kermani tertarik untuk menjelaskan agama Buddha pada penonton Islam. Pada permulaan abad ke-8 M, ia menulis sebuah catatan yangs angat detail tentang Nava Vihara di Balkh, Afghanistan dan tradisi Buddhis di sana. Ia menjelaskan dengan memperlihatkan kesamaannya dengan agama Islam. Maka dari itu ia mendeskripsikan vihara tersebut sebagai sebuah tempat yang di tengahnya terdapat kotak batu (stupa) yang ditutupi kain dan para umat bersujud dan bernamaskara, mirip seperti Kabah di Mekah. Tulisan-tulisan Al-Kermani tersimpan dalan karya abad 10 M yaitu dalam “Buku Lahan” (Kitab al-Buldan) yang ditulis oleh Ibn al-Faqih al-Hamadhani.
Al-Ihranshahri (abad 9 -10 M) memberikan detail kosmologi Buddhis namun hilang dan beberapa digunakan oleh Al-Biruni. Penulis Kitab al-bad wa-‘l-ta’ rich yang ditulis pada tahun 966 M mendeskripsikan tentang ajaran Buddha tentang kelahiran kembali.
Ibn al Nadim menyebut Budhasf (Bodhisattva) sebagai nabi darti Sumaniyya (Sramana) yang berarti para bhiksu Buddhis. Sujmaniyya ini dijelaskan oleh kaum Muslim sebagai masyarakat agama yang tinggal di Timur sebelum kedatangan agama-agama yang diwahyukan, yang berarti di Negara Iran sebelum kemunculan Zarathustra, India dan Tiongkok. Agama Buddha sebagai Sumaniyya dijelaskan oleh umat Muslim pada saat itu sebagai agama penyembah berhala dan penganut paham kekekalan, kosmologi particular dan tumimbal lahir (tanasukh al-arwah). Agama Sumaniyya juga dideskripsikan sebagai agama yang skeptis, menolak argument (nazar) dan pemikiran logis (isitidlal). Klaim ini sungguh aneh, karena agama Buddha tidak menolak argument sama sekali, bahkan dalam agama Buddha ditekankan pemikiran yang logis.
Catatan Kamalashri tentang agama Buddha, ada di bagian akhir Jami al-Tawarikh atau Sejarah Dunia dari Rashid al-Din (1247 - 1318), yang mendeskripsikan secara menyeluruh, dan karya tulis ini ditulis oleh seorang Buddhis dengan menunjukkan banyak aspek-aspek legendaris.
***
--Ajaran Budha--
Sejak roda Dharma diputar untuk pertama kalinya di Taman Isipattana dekat Benares oleh Sang Buddha kira-kira 2500 tahun yang lalu hingga sekarang ajaran mulia tersebut masih relevan dengan kehidupan umat manusia modren. Dalam beberapa agama yang lain, barangkali terdapat bagian-bagian yang tidak relevan dan tidak dapat di terima oleh logika dan perkembangan IPTEK, sehingga perlu diadakan perubahan-perubahan atau penghilangan beberapa bagian ajaran yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perikehidupan modren saat ini. Tetapi hal seperti ini tidak terjadi di dalam ajaran Sang Buddha, karena pada dasarnya Dhamma Sang Buddha didasarkan pada kesunyataan yang dapat dibuktikan secara logis dan bahkan juga secara ilmiah.
Hal ini juga diakui oleh kalangan ilmuwan, contohnya adalah Albert Enstein yang mengatakan bahwa Buddhisme adalah agama yang tidak bersifat Dogmatis, tetapi berdasarkan pengalaman natural dan spiritual.
Albert Einstein mengatakan:
"Agama di masa yang akan datang merupakan agama yang kosmik. Agama tersebut akan melampaui konsep Tuhan yang tunggal dan menghindari Dogma dan teologi. Meliputi baik alam (Natural) maupun spiritual, agama tersebut akan di dasarkan pada rasa religius yang timbul dari pengalaman semua hal, baik secara natural maupun spiritual dan dalam kesatuan yang penuh arti. Buddhisme mampu menjawab deskripsi ini. Jika ada agama yang mampu memenuhi kebutuhan ilmiah ini adalah Buddhisme".
Ajaran Sang Buddha memang sangat unik, karena tidak bersifat dogmatis. Hal ini terlihat dari kata-kata Sang Buddha : Ehipasiko, Yang artinya datang dan lihatlah. Di sini dimaksudkan agar kita melihat, mengetahui dan memahami ajaran Sang Buddha sebelum meyakininya. Kita bisa melihat, mengetahui dan memahami hal tersebut. Sang Buddha tidak menginginkan kita untuk mempercayai ajaran-Nya, Karena jika kita mempercayai sesuatu, yang kita belum pernah melihatnya, maka suatu ketika bias muncul keragu-raguan. Dan Sang Buddha mengatakan bahwa keragu-raguan (Vicchikiccha) adalah merupakan salah satu rintangan batin (Nivarana) yang menghambat kemajuan batin seseorang. Jadi tidak seperti ajaran agama lain pada umumnya, yang menuntut kepercayaan dari para pengikutnya tanpa dapat dan boleh bertanya-tanya, maka sebaliknya Sang Buddha bahkan menyuruh kita untuk dapat berpikir menentukan mana yang baik (dapat membawa kebahagian) dan mana yang tidak baik (tidak membawa kebahagiaan).
Jangan bertindak berdasarkan wahyu atau tradisi, jangan bertindak berdasarkan omongan, atau berdasarkan kitab-kitab suci, jangan bertindak berdasarkan kabar burung atau hanya berdasarkan logika, jangan bertindak berdasarkan pemihakan terhadap suatu dugaan atau terhadap penampakan kemampuan seseorang dan jangan bertindak berdasarkan pemikiran’Ia adalah guruku’. Tetapi jika kamu sendiri mengetahui bahwa sesuatu hal tersebut adalah bagus, bahwa hal itu tidak salah, bahwa hal itu dipuji oleh orang bijaksana dan jika di laksanakan dan dihayati membawa kebahagiaan, maka ikutilah hal itu. (Al188)
Ven.K.Sri Dhammananda dan Ven.Sri Dhammika juga mengatakan bahwa Buddhisme adalah terbuka untuk siapa saja. Tidak ada doktrin rahasia. Semua kejadian-kejadian dalam kehidupan ini tidak ada yang tersembunyi atau berbau mistik dan tidak dapat dijelaskan. Jadi sebenarnya mukjijat itu tidak ada. Apa yang dianggap sebagai mukjijat itu hanyalah karena kemampuan dan pengetahuan manusia yang masih sangat terbatas. Jika manusia mampu meningkatkan pengetahuannya melalui peningkatan kebijaksanaan, maka ia akan mengerti sebab musabab terjadinya semua mukjijat, sehingga ide tentang mukjijat haruslah dihapuskan. Contohnya : Berjalan di atas air, Dibbasota (telinga sakti), dibbacakkhu (mata sakti), mengubah-ubah bentuk jasmani, menghilang, terbang dan lain-lain, semuanya bukanlah mukjijat. Itu hanyalah kekuatan batin (Abihinna) yang dimiliki oleh seseorang yang telah mencapai tingkat meditasi Samatha Bhavana yang tinggi.
Buddhisme juga tidak mengenal teori penciptaan dunia dan kepercayaan bahwa semua penderitaan maupun kegembiraan yang dialami manusia adalah berasal dari Tuhan. Jika manusia mengalami penderitaan, maka dikatakan bahwa Tuhan sedang memberikan cobaan. Tetapi jika manusia mengalami kegembiraan, maka dikatakan Tuhan memberikan berkah kepadanya. Pendapat seperti ini jelas sangat meragukan dan bias menimbulkan tanda Tanya yang besar. Jika Tuhan, sebagai Zat yang Maha Kuasa dan Maha Adil, mengatur nasib manusia, juga Tuhan itu sangat mencintai manusia, mengapa Tuhan harus memberikan penderitaan yang hebat terhadap sebagian manusia dan sebaliknya memberikan kegembiraan dan rejeki yang berlimpah pada manusia lainnya? Padahal banyak diantara orang-orang yang mengalami penderitaan tersebut adalah orang-orang yang saleh, dan sebagian orang-orang yang hidup dalam kemewahan adalah orang yang tamak dan miskin cinta kasih. Konsep tentang Tuhan sebagai sentral yang mengatur kehidupan manusia yang jelas bias menimbulkan rasa tidak puas manusia yang selalu hidup dalam penderitaan, sebaliknya menimbulkan kepongahan bagi manusia yang hidupnya selalu dalam kemudahan-kemudahan karena merasa Tuhan mencintainya lebih dari orang lain. Lagipula, mengapa Tuhan sebagai Zat yang Maha Kuasa dan Maha Tahu harus menurunkan berbagai macam agama yang saling bertentangan, yang akhirnya sering kali menimbulkan peperangan dan pertumpahan darah Semua pernyataan ini tidak akan terjawab melalui logika. Sebaliknya Buddhisme mengajarkan epada kita bahwa kebahagiaan dan penderitaan adalah hasil dari perbuatan kita sendiri. Itu adalah buah dari karma yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Hal ini dengan jelas dikatakan oleh Sang Buddha, bahwa hanya diri kita sendirilah yang dapat menyelamatkan diri kita sendiri. Manusia tidak bisa mengharapkan pertolongan dari orang lain untuk menyelamatkan dan menyucikan dirinya. Juru selamat bagi dirinya sendiri tak lain tak bukan adalah diri kita sendiri pula. Sang Buddha hanyalah sebagai Guru penunjuk jalan. Bagaimanakah manusia dapat menyelamatkan dirinya sendiri? Dengan selalu melaksanakan ajaran Sang Buddha, yaitu : jangan berbuat jahat; perbanyaklah kebajikan; sucikan hati dan pikiran.
Konsep Buddhisme yang mengandalkan diri sendiri sebagai juru selamat bagi diri sendiri, secara logika dan ilmiah dapat dibuktikan. Hal ini bukannya berarti Buddhisme tidak mengenal Tuhan. Sebenarnya dalam Buddhisme juga mengenal adanya "Sesuatu yang mutlak, yang tidak dilahirkan, tidak dijadikan, tidak berbentuk dan tidak terbatas, sebagai tempat pelarian bagi apa yang dilahirkan, dijadikan, berbentuk dan terbatas" (UD 80). Konsep sesuatu yang adi inilah yang diakui dalam Buddhisme sebagai Tuhan yang Maha Esa dan hal ini tampak dari penghormatan kita terhadap Sanghyang Adi Buddha, yang artinya : Kesempurnaan Yang Paling Tinggi Dan Mulia.
Ditinjau dari sudut ilmiah, sebenarnya ajaran Sang Buddha, walaupun tidak seluruhnya dapat dibuktikan secara ilmiah, tetapi dalam banyak hal ajaran Beliau dapat dikatakan bersifat ilmiah, sebab dapat dibuktikan atau ditelusuri kebenarannya. Contoh ajaran Sang Buddha yang dapat dibuktikan secara nyata dengan fakta-fakta yang ada adalah tentang Empat Kebenaran Mulia, PaticcaSamuppada, hukum karma dan Tilakkhana. Bahkan teori tentang evolusi dunia dalam Aganna Sutta (dalam Sutta Pitaka Digha Nikaya) dan tentang adanya banyak tata surya lain di alam semesta ini telah dikemukakan oleh Sang Buddha dalam Ananda Sutta (dalam Anguttara Nikaya) dan dalam Maha Prajnaparamita Sutra, hampir 25 abad sebelum munculnya teori evolusi modren. Hal ini menunjukkan bahwa memang Sang Buddha benar-benar telah mencapai pengetahuan sempurna yang tiada bandingnya, sebagai manusia paling bijaksana yang pernah terlahir di dunia.
Dalam perkembangan ilmu dan teknologi sekarang ini, banyak timbul pertentangan (dalam agama/ajaran lain) mengenai apakah suatu perkembangan ilmu pengetahuan tertentu sesuai dengan kehendak Tuhan atau tidak, apakah diridhoi/direstui oleh Tuhan atau tidak. Sebenarnya masalah ini agak mengherankan jika dikaitkan dengan Tuhan, karena jika Tuhan tidak menyetujui, sebagai kekuatan supranatural yang luar biasa (Maha Kuasa) Tuhan pasti bisa menggagalkan usaha-usaha tersebut. Sehingga perkembangan teknologi yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya tidak akan pernah bisa terwujud. Misalnya mengenai bayi tabung, Inseminasi buatan, operasi ganti kelamin, perkembangan teknologi senjata-senjata canggih seperti rudal, bom hydrogen dan lain-lain.
Sebagai umat Buddhis, kita tidak pernah mempersoalkan hal-hal tersebut dari sudut pandang apakah sesuai kehendak Tuhan atau tidak, karena kita sadar dan mengetahui dengan pasti bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah akibat dari keadaan yang saling bergantungan (Sankhara) : ‘Dengan adanya ini maka muncullah itu, dan dengan lenyapnya ini maka lenyaplah itu’. Disamping itu manusia mempunyai kemampuan berpikir yang sangat luar biasa jika dapat dikembangkan sebaik-baiknya. Jadi jelas tidak mustahil bagi manusia untuk bisa mengembangkan apapun juga dan hal ini seluruhnya tergantung pada diri manusia sendiri. Hanya saja Sang Buddha dengan jelas mengatakan jika manusia berbuat dengan pikiran jahat, maka pederitaan akan mengikutinya seperti roda pedati yang mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya. Sebaliknya, jika manusia berbuat dengan pikiran yang baik, maka kebahagiaan akan mengikutinya seperti bayang-bayang yang tidak pernah lepas dari badannya. Jadi jelas jika manusia berbuat berdasarkan kehendak (Cetana) yang tidak baik maka ia telah membuat karma baru yang buruk (Akusala karma) dan sebagai akibatnya ia akan menerima penderitaan jika karma buruknya berbuah. Demikian pula sebaliknya.
Jadi sebenarnya dalam pandangan Buddhis, tidak ada pembatasan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, sejauh ilmu pengetahuan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Seperti misalnya penemuan serum-serum dan vaksin-vaksin untuk berbagai macam penyakit, bayi tabung dan inseminasi buatan untuk menolong pasangan suami istri yang tidak mampu mempunyai keturunan secara alami, operasi ganti kelamin untuk menolong orang-orang yang mempunyai kelainan seksual sehingga tidak merasa rendah diri, pengembangan teknologi satelit dan ruang angkasa dan sebagainya. Tampak bahwa beberapa perkembangan IPTEK yang kadang-kadang menjadi perdebatan di kalangan agama lain, seperti misalnya program bayi tabung dan operasi ganti kelamin, didalam Buddhisme tidak menjadi masalah. Karena otak (daya pikir) manusia memang luar biasa dan jelas program tersebut bertujuan untuk menolong sesama manusia. Jadi manusia sebagai Sang pencipta haruslah selalu mawas diri dan mengembangkan cinta kasihnya demi kebahagiaan sesama. Janganlah manusia justru menuruti nafsu keinginan rendah, keserakahan dan kebencian yang menginginkan orang lain menderita. Dari konsep ini jelas bahwa Buddhisme tidak akan pernah menghambat kemajuan perkembangan IPTEK, tetapi seharusnya manusia mengembangakan cinta kasih terhadap sesama dengan tidak menciptakan teknologi yang bersifat destruktif tetapi yang bersifat konstruktif.
Dari penjelasan ini dapat disimpulkan 3 hal sebagai berikut :
1. Buddhisme adalah ajaran yang bersifat logis, tidak bersifat dogmatis. Buddhisme mengajarkan manusia untuk datang dan melihat kebenaran ajaran tersebut, dan bukannya untuk datang dan percaya,agar timbul keyakinan bagi para pengikutnya, sesuai dengan kata-kata Sang Buddha Ehipassiko. Karena jika kita tidak datang dan melihat sendiri kebenaran suatu ajaran, maka keyakinan tidak akan pernah mantap, akibatnya akan muncul keragu-raguan. Dan keragu-raguan adalah merupakan salah satu rintangan batin (Nivarana) bagi perkembangan kesempurnaan batin kita. Prinsip Ehipassiko ini sesuai dengan metode dan semangat ilmiah yang mengutamakan penalaran dengan kemampuan dan kebijaksanaan sendiri.
2. Buddhisme dapat dikatakan sebagai agama (religi) yang ilmiah. Jadi disini mencakup unsur spiritual dan logika. Ajaran Sang Buddha tentang 4 Kesunyataan Mulia, Paticcasamuppada, Tilakkhana, Hukum karma semuanya secara ilmiah dapat dibuktikan (dengan pembuktian secara riil/ berdasarkan fakta).
3. Karena dalam Buddhisme tidak mengajarkan adanya kekuatan supranatural yang luar biasa yang mengatur jalan hidup manusia, tetapi jalan hidup manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri, maka Buddhisme tidak pernah menentang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hanya saja perkembangan IPTEK seharusnya dilandasi oleh rasa cinta kasih (metta) yang bertujuan untuk membahagiakan sesama, bukannya dilandasi oleh keserakahan dan kebencian sehingga mengakibatkan penderitaan.
_****_
TUHAN YANG MAHA ESA DALAM BUDHA
Setiap agama bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, terlepas dari pengertian dan makna yang diberikan oleh tiap-tiap agama terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula agama Buddha bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Setiap pemeluk agama yang sadar, percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu tidaklah sama dengan umpamanya : percaya adanya suatu telaga di suatu puncak gunung yang tinggi. Percaya tentang adanya suatu telaga di puncak gunung tidak berpengaruh pada sikap hidup dan perilaku seseorang sehari-hari. Tetapi sebaliknya, percaya tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa berakibat penyerahan diri (attâsanniyyatana) kepada-Nya. Penyerahan diri itu berakibat pula dalam perbuatan, dan perbuatan itu adalah amal ibadah (puñña). dan itulah yang disebut beragama. Corak perbuatan itu adalah kesadaran, dilakukan dengan sadar, bukan kebiasaan, bukan adat istiadat, bukan pula tradisi. Perbuatan beragama memberikan pengalaman yang mengintegrasikan hidupnya. Demikianlah maka hidupnya mempunyai tujuan, dan oleh sebab itu menjadi bermakna. Sering kita lihat orang berkecukupan dalam materi, berpangkat dan berkuasa, tetapi mereka itu tidak adanya tujuan. Tujuan itu terdapat dalam setiap agama.
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dicapai bukan melalui proses evolusi atau penalaran, melainkan melalui Bodhi (Penerangan Sempurna). Sejak mulai disampaikannya Dhamma oleh Sang Buddha Gotama, dalam agama Buddha telah terdapat Ketuhanan Yang Maha Esa, yang memungkinkan kita bebas dari samsara (lingkungan tumimbal lahir), yang merupakan tempat perlindungan sampai tercapainya Pembebasan Mutlak (nibbâna), yang menyatukan semua insan, yang menjadi tujuan terakhir.
Barangkali tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sementara orang akan heran dan tercengang mendengar bahwa Sang Buddha mengajarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bahkan sejak kotbah-Nya yang pertama. Keheranan itu disebabkan karena banyaknya tulisan di Indonesia yang menyatakan bahwa agama Buddha tidak ber-Tuhan, bahkan menyangkal adanya Tuhan. Anggapan demikian sebenarnya adalah suatu kesalahan semantik, salah paham bahasa, karena orang secara bebas menterjemahkan istilah-istilah dari literatur Barat ke dalam bahasa Indonesia, seperti misalnya: 'god' dengan 'Tuhan', 'theisme' dengan 'percaya Tuhan'.
Kalau kita perhatikan ajaran agama-agama yang berbeda-beda tentang Tuhan Yang Maha Esa, dan bila kita bandingkan berbagai-bagai pengertian itu sering nampak seolah-olah ada yang bertentangan, akan tetapi terdapat pula persamaan di antara perbedaan-perbedaan itu, antara lain bahwa Tuhan adalah Yang Mutlak, Yang Tertinggi, Yang Maha Suci, dan akhir tujuan semua mahluk.
Hampir pada semua agama terdapat anthropomorphisme (memahami Yang Mutlak/Tuhan dengan ukuran bentuk manusia) dan anthropopathisme (memahami Yang Mutlak dalam ukuran perasaan manusia). Dalam hal ini karena agama Buddha memandang Yang Mutlak dalam aspek nafi (meniadakan segala sesuatu yang dapat dipikirkan), maka kecenderungan jatuh ke dalam anthropomorphisme dan anthropopathisme tersebut tidak terdapat dalam agama Buddha.
Yang Mutlak (Tuhan) dalam agama Buddha tidaklah dipandang sebagai sesuatu pribadi (punggala adhitthâna), yang kepada-Nya umat Buddha memanjatkan doa dan menggantungkan hidupnya. Agama Buddha mengajarkan bahwa nasib, penderitaan dan keberuntungan manusia adalah hasil dari perbuatannya sendiri di masa lampau, sesuai dengan hukum kamma yang merupakan satu aspek Dhamma.
Sebelum perkataan 'Tuhan" diperkenalkan kepada rakyat Indonesia, rakyat Indonesia telah ber-Tuhan, akan tetapi tidak disebut dengan perkataan 'Tuhan'. Di Jawa dikenal perkataan 'Pangeran'. Perkataan 'Pangeran' itu mempunyai akar kata 'her', 'tempat diam untuk menghadap orang tua'; kata kerjanya 'angher', 'tinggal pada suatu tempat untuk mengabdi'; maka perkataan 'Pangeran' berarti 'yang diikuti, yang diabdi'. Dalam hal ini tidak ada unsur memohon, meminta sesuatu, mengaharapkan sesuatu dari 'Pangeran', akan tetapi karena mengabdi dan mengikuti, maka pasti akan diperoleh berkah atau buah (pahala).
Tuhan atau Pangeran dalan bahasa Jawa sering digambarkan sebagai : "gesang tanpa roh; kuwaos tanpa piranti; tan wiwitan datan wekasan; tan kena kinaya ngapa; ora jaman ora makam; ora arah ora enggon; adoh tanpa wangenan; cedak tanpa gepokan (senggolan); ora njaba ora njero; lembut tan kena jinumput; gede tan kena kinira-kira", yang artinya :
"Hidup tanpa roh; kuasa tanpa alat; tanpa awal tanpa akhir; tak dapat diapa-siapakan; tak kenal jaman maupun perhentian; tak berarah tak bertempat; jauh tak terbatas; dekat tak tersentuh; tak di luar tak di dalam; halus tak terpungut; besar tak terhingga".
'Yang Mutlak' adalah istilah falsafah, bukan istilah yang biasa dipakai dalam kehidupan keagamaan. Dalam kehidupan keagamaan, 'Yang Mutlak' disebut dengan 'Tuhan Yang Maha Esa'.
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha kita dapatkan dari sabda-sabda Sang Buddha, seperti yang dituliskan dalam Kitab Udana :
"Atthi bhikkhave ajâtam abhûtam akatam asankhatam,no ce tam bhikkhave abhavisam ajâtam abhûtam akatam asankhatam, nayidha jâtassa bhûtassa katassa sankhatassa nissaranam paññâyatha. Yasmâ ca kho bhikkhave atthi ajâtam abhûtam akatam asankhatam, tasmâ jâtassa bhûtassa katassa sankhatassa nissaranam paññâyâ'ti:.
artinya :
"Para bhikkhu, ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Para bhikkhu, bila tak ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka tak ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu. Tetapi para bhikkhu, karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Tidak Menjelma, Tidak Tercipta, Yang Mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebab yang lalu". (Udâna, VIII : 3)
Untuk memahami Yang Mutlak ini, seseorang harus mengembangkan pengertiannya, dari pengertian duniawi (lokiya) sampai memperoleh pengertian yang mengatasi duniawi (lokuttara), yang hanya dapat dicapai oleh insan yang sadar, yang telah membebaskan diri dari cengkeraman kamma dan kelahiran kembali. Pengertian ini tidak dapat dimiliki oleh manusia yang batinnya masih dicengkeram oleh keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kegelapan batin (moha).
Dengan demikian, jelaslah bahwa agama Buddha benar-benar mengajarkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Yang Mutlak. Hal ini penting sebagai penegasan kepada mereka yang mengira bahwa Sang Buddha tidak mengajarkan keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan dengan sendirinya agama Buddha dianggap tidak berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
_***_
Keyakina dalam agama BUDHA
Umat Buddha di seluruh dunia menyatakan ketaatan dan kesetiaan mereka kepada Buddha, Dhamma dan Sangha dengan kata-kata dalam suatu rumusan kuno yang sederhana, namun menyentuh hati, yang terkenal dengan nama Tisarana (Tiga Perlindungan). Rumusan itu berbunyi :
Buddham saranam gacchâmi - Aku berlindung kepada Buddha
Dhammam saranam gacchâmi - Aku berlindung kepada Dhamma
Sangham saranam gacchâmi - Aku berlindung kepada Sangha
Rumusan ini disabdakan oleh Sang Buddha sendiri (bukan oleh para siswaNya atau mahluk lain) pada suatu ketika di Taman Rusa Isipatana dekat Benares, pada enam puluh orang arahat siswa Beliau, ketika mereka akan berangkat menyebarkan Dhamma demi kesejahteraan dan kebahagiaan umat menusia. Sang Buddha bersabda : "Para bhikkhu, ia (yang akan ditahbiskan menjadi sâmanera dan bhikkhu) hendaklah: setelah mencukur kepala dan mengenakan jubah kuning . . . bersujud di kaki para bhikkhu, lalu duduk bertumpu lutut dan merangkapkan kedua tangan di depan dada, dan berkata: "Aku berlindung kepada Buddha", "Aku berlindung kepada Dhamma", "Aku berlindung kaprda Sangha" (Vinaya Pitaka I, 22).
Sang Buddha menetapkan rumusan tersebut bukan hanya bagi mereka yang akan ditahbiskan menjadi samanera dan bhikkhu, tetapi juga bagi umat awam. Setiap orang yang memeluk agama Buddha, baik ia seorang awam ataupun seorang bhikkhu, menyatakan keyakinannya dengan kata-kata rumusan Tisarana tersebut. Nampaklah betapa luhurnya kedudukan Buddha, Dhamma dan Sangha. Bagi umat Buddha 'berlindung kepada Tiratana' merupakan ungkapan keyakinan, sama seperti 'syahadat' bagi umat Islam dan 'credo' bagi umat Kristen.
Trisarana adalah ungkapan keyakinan (saddha) bagi umat Buddha. Saddha yang diungkapkan dengan kata 'berlindung' itu mempunyai tiga aspek :
1) Aspek kemauan : Seorang umat Buddha berlindung kepada Tiratana dengan penuh kesadaran, bukan sekedar sebagai kepercayaan teoritis, adat kebiasaan atau tradisi belaka. Tiratana akan benar-benar menjadi kenyataan bagi seseorang, apabila ia sungguh-sungguh berusaha mencapainya. Karena adanya unsur kemauan inilah, maka saddha dalam agama Buddha merupakan suatu tindakan yang aktif dan sadar yang ditujukan untuk mencapai Pembebasan, dan bukan suatu sikap yang pasif, 'menunggu berkah dari atas'.
2) Aspek Pengertian : ini mencakup pengertian akan perlunya perlindungan yang memberi harapan dan menjadi tujuan bagi semua mahluk dalam samsara ini, dan pengertian akan adanya hakekat dari perlindungan itu sendiri.
Adanya Tiratana sebagai Perlindungan telah diungkapkan sendiri oleh Sang Buddha. Tetapi hakekat Tiratana sebagai Perlindungan Terakhir hanya dapat dibuktikan oleh setiap orang dengan mencapainya dalam batinnya sendiri. Dalam diri seseorang, Perlindungan itu akan timbul dan tumbuh bersama dengan proses untuk mencapainya. " Dengan daya upaya, kesungguhan hati dan pengendalian diri, hendaklah orang yang bijaksana membuat untuk dirinya pulau yang tidak akan tenggelam oleh air bah" (Dhammapada, V : 25).
Buddha, sebagai perlindungan pertama, mengandung arti bahwa setiap orang mempunyai benih kebuddhaan dalam dirinya, bahwa setiap orang dapat mencapai apa yang telah dicapai oleh Sang Buddha. "Seperti sayalah para penakluk yang telah melenyapkan kekotoran batin" (Ariyapariyesanâ Sutta, Majjhima Nikâya). Sebagai perlindungan, Buddha bukanlah pribadi Petapa Gotama, melainkan para Buddha sebagai manifestasi daripada Bodhi (kebuddhaan) yang mengatasi keduniawian (lokuttara).
Dhamma, sebagai perlindungan kedua, bukan berarti kata-kata yang terkandung dalam kitab suci atau konsepsi ajaran yang terdapat dalam batin menusia biasa yang masih berada dalam alam keduniaan (lokiya, mundane), melainkan "Empat Tingkat Kesucian" beserta 'Nibbâna' yang dicapai pada akhir Jalan.
Sangha, sebagai perlindungan kedua, bukan berarti kumpulan para bhikkhu yang anggota-anggotanya masih belum bebas dari kekotoran batin (bhikkhu sangha), melainkan Pasamuan Para Suci yang telah mencapai Tingkat-Tingkat Kesucian (ariya-sangha). Mereka ini menjadi teladan yang patut dicontoh. Namun landasan sesungguhnya dari Perlindungan ini ialah kemampuan yang ada pada setiap orang untuk mencapai tingkat-tingkat kesucian itu.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa Buddha, Dhamma dan Sangha dalam aspeknya sebagai Perlindungan mempunyai sifat mengatasi keduniaan (supramundane, lokuttara). Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Buddha, Dhamma dan Sangha merupakan manifestasi daripada Yang Mutlak, Yang Esa, yang menjadi tujuan terakhir semua mahluk. Buddha, Dhamma dan Sangha sebagai Tiratana adalah bentuk kesucian tertinggi yang dapat ditangkap oleh pikiran manusia biasa, dan oleh karena itu diajarkan sebagai Perlindungan yang Tertinggi oleh sang Buddha. Buddha, Dhamma dan Sangha atau Tiratana adalah manifestasi, perwujudan, pengejawantahan dari Tuhan Yang Maha Esa dalam alam semesta ini, yang dipuja dan dianut oleh seluruh umat Buddha.
3) Aspek Perasaan (emosionil) : yang berlandaskan aspek pengertian di atas, dan mengandung unsur-unsur keyakinan, pengabdian dan cinta kasih. Pengertian akan adanya Perlindungan memberikan kayakinan yang kokoh dalam diri sendiri, serta menghasilkan ketenangan dan kekuatan. Pengertian akan perlunya Perlindungan mendorong pengabdian yang mendalam kepada-Nya; dan pengertian akan hakekat Perlindungan memenuhi batin dengan cinta kasih kepada Yang Maha Tinggi, yang memberikan semangat, kehangatan dan kegembiraan.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa 'berlindung' dalam agama Buddha berarti : "Suatu tindakan yang sadar, yang bertujuan untuk mencapai Pembebasan yang berlandaskan pengertian dan didorong oleh keyakinan". Atau secara singkat : "Suatu tindakan sadar daripada keyakinan, pengertian dan pengabdian".
Ketiga aspek daripada 'berlindung' ini sesuai dengan aspek kemauan, aspek rasionil dan aspek emosionil dari batin manusia. Oleh karena itu untuk mendapatkan perkembangan batin yang harmonis, ketiga aspek ini harus dipupuk bersama-sama.
Berlindung kepada Tiratana sebagai pengucapan kata-kata belaka tanpa dihayati, berarti kemerosotan dari suatu kebiasaan kuno yang mulia. Perbuatan demikian melenyapkan makna dan manfaat dari Perlindungan. Berlindung kepada Tiratana seharusnya merupakan ungkapan dari suatu dorongan batin yang sungguh-sungguh, seperti seseorang yang apabila melihat suatu bahaya besar akan bergegas mencari perlindungan. Orang yang melihat rumahnya terbakar, tidak akan memperoleh keselamatan hanya dengan memuja keamanan dan kebebasan tanpa bertindak untuk mencapainya. Tindakan pertama kearah keselamatan dan kebebasan ialah dengan 'berlindung' secara benar, yaitu suatu tindakan sadar daripada keyakinan, pengertian dan pengabdian.
Readmore »